Minggu, 16 November 2014



1.SEJARAH INTERNET
Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun1969, melalui proyek ARPAyang disebutARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardwaredansoftware komputer yang berbasis UNIX, kita bisa melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melalui saluran telepon. Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan, dan akhirnya semua standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol).
Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk keperluan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi serangan nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan.
Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research InstituteUniversity of CaliforniaSanta Barbara,University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulanOktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini berkembang pesat di seluruh daerah, dan semua universitas di negara tersebut ingin bergabung, sehingga membuat ARPANET kesulitan untuk mengaturnya.
Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk keperluan militer dan "ARPANET" baru yang lebih kecil untuk keperluan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan akhirnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet.
B.SEJARAH INTERNET DUNIA
Sejarah Internet dimulai pada tahun 60-an, yaitu ketika Levi C. Finch dan Robert W. Taylor mulai melakukan penelitian tentang jaringan global dan masalah interoperabilitas. Selanjutnya, beberapa program penelitian mulai dilakukan untuk melihat mekanisme pengaitan jaringan-jaringan yang berbeda secara fisik. Salah satu solusi yang muncul dari penelitian-penelitian tersebut adalah teknik packet switching. Pada teknik packet switching, data atau file berukuran besar yang akan dikirim melalui jaringan komputer terlebih dahulu dipotong menjadi paket kecil-kecil agar lebih mudah ditangani dan lebih Andal. Peneliti utama dalam pengembangan packet switching ini adalah Donald Davies (NPL), Paul Baran (RAND Corporation), Leonard Kleinrock dan kawan-kawan (MIT) dan UCLA Research Programs.

        
 Pada tahun 1969, Robert Taylor yang baru dipromosikan sebagai kepala kantor pemrosesan informasi di DARPA (Badan Riset Angkatan Bersenjata Amerika Serikat) bermaksud mengimplementaskan ide untuk membuat sistem jaringan yang saling terhubung. Bersama Larry Robert dari MIT, Robert Taylor memulai proyek yang kemudian dikenal sebagai ARPANET. Sambungan pertama ARPANET terbentuk antara University of California, Los Angeles (UCLA) dan Stanford Research Institute (SRI) pada jam 22:30 tanggal 29 Oktober 1969. Pada tanggal 5 Desember 1969, ada dua jaringan lagi yang yang bergabung, yakni University of Utah dan University of California, Santa Barbara sehingga total terdapat empat (4) simpul jaringan. ARPANET yang berbasis pada teknologi ALOHAnet berkembang sangat cepat. Pada tahun 1981, jumlah simpul yang tersambung menjadi 213.

        Selain jaringan untuk penelitian seperti ARPANET dan X.25, para hobbiis komputer juga mengembangkan teknik jaringan sendiri yang kemudian cukup populer, yaitu UUCP. Masalah terbesar pada teknik ini adalah bagaimana supaya berbagai jenis peralatan jaringan, seperti telepon, radio, kabel LAN yang secara fisik sangat berbeda dapat berkomunikasi satu sama lain. Keberagaman media fisik jaringan mendorong pengembangan tatacara komunikasi (protokol komunikasi) yang mampu melakukan internetworking, sehingga banyak jaringan kecil dapat saling tersambung menjadi satu menjadi jaringan komputer maha besar.

          Kumpulan tata cara komunikasi atau protokol Internet memungkinkan jaringan komputer dibangun menggunakan saluran fisik yang berbeda. Dalam bahasa yang sederhana, komputer yang terhubung menggunakan telepon, dapat berkomunikasi dengan komputer yang tersambung ke jaringan LAN maupun jaringan radio. Hal ini mendorong terjadinya inter-network (antar jaringan) secara global yang kemudian hari kita kenal sebagai “Internet”.

        Selain protokol Internet, hal lain yang tidak kalah penting dalam perkembangan Internet adalah metode pengalamatan di Internet. Jon Postel dari Information Science Institute (ISI) di University of Southern California (USC) adalah orang yang sangat berjasa di balik berbagai alokasi alamat IP Internet, manajemen Domain Name System (DNS), tipe media, dan berbagai alokasi nomor untuk tata cara komunikasi penting di Internet. Hingga wafatnya pada tanggal 16 Oktober 1998, Jon Postel mengelola Internet Assigned Numbers Authority (IANA). Pada tanggal 21 Juli 1998, Jon Postel memperoleh Silver Medal dari International Telecommunications Union (ITU) atas jasa-jasanya membangun Internet di dunia. Saat ini, IANA dioperasikan oleh Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).

Komersialisasi dan privatisasi Internet mulai terjadi pada tahun 1980-an di Amerika Serikat dengan di ijinkannya Internet Service Provider (ISP) untuk beroperasi. Internet mulai booming pada tahun 1990-an. dan menjadi kunci pemicu perubahan dalam budaya dan dunia usaha. Internet menawarkan pola komunikasi cepat menggunakan e-mail, diskusi bebas di forum, dan Web.
C. DAFTAR KEJADIAN PENTING
Tahun
Kejadian
Uni Soviet (sekarang Rusia) meluncurkan wahana luar angkasaSputnik.
Sebagai buntut dari "kekalahan" Amerika Serikat dalam meluncurkan wahana luar angkasa, dibentuklah sebuah badan di dalam Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Advanced Research Projects Agency (ARPA), yang bertujuan agar Amerika Serikat mampu meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi negara tersebut. Salah satu sasarannya adalah teknologi komputer.
J.C.R. Licklider menulis sebuah tulisan mengenai sebuah visi di mana komputer-komputer dapat saling dihubungkan antara satu dengan lainnya secara global agar setiap komputer tersebut mampu menawarkan akses terhadap program dan juga data. Pada tahun ini juga RAND Corporation memulairiset terhadap ide ini (jaringan komputer terdistribusi), yang ditujukan untuk tujuan militer.
Awal 1960-an
Teori mengenai packet-switching dapat diimplementasikan dalam dunia nyata.
Pertengahan 1960-an
ARPA mengembangkan ARPANET untuk mempromosikan "Cooperative Networking of Time-sharing Computers", dengan hanya empat buah hostkomputer yang dapat dihubungkan hingga tahun1969, yakni Stanford Research InstituteUniversity of California, Los AngelesUniversity of California, Santa Barbara, dan University of Utah.
Istilah "Hypertext" dikeluarkan oleh Ted Nelson.
Jaringan Tymnet dibuat.
Anggota jaringan ARPANET bertambah menjadi 23 buah node komputer, yang terdiri atas komputer-komputer untuk riset milik pemerintah Amerika Serikat dan universitas.
Sebuah kelompok kerja yang disebut denganInternational Network Working Group (INWG) dibuat untuk meningkatkan teknologi jaringan komputer dan juga membuat standar-standar untuk jaringan komputer, termasuk di antaranya adalah Internet. Pembicara pertama dari organisasi ini adalah Vint Cerf, yang kemudian disebut sebagai "Bapak Internet"
Beberapa layanan basis data komersial seperti Dialog, SDC Orbit, Lexis, The New York Times DataBank, dan lainnya, mendaftarkan dirinya ke ARPANET melalui jaringan dial-up.
ARPANET ke luar Amerika Serikat: pada tahun ini, anggota ARPANET bertambah lagi dengan masuknya beberapa universitas di luar Amerika Serikat yakni University College of London dariInggris dan Royal Radar Establishment di Norwegia.
Vint Cerf dan Bob Kahn mempublikasikan spesifikasi detail protokol Transmission Control Protocol (TCP) dalam artikel "A Protocol for Packet Network Interconnection".
Bolt, Beranet & Newman (BBN), pontraktor untuk ARPANET, membuka sebuah versi komersial dari ARPANET yang mereka sebut sebagai Telenet, yang merupakan layanan paket data publik pertama.
Sudah ada 111 buah komputer yang telah terhubung ke ARPANET.
Protokol TCP dipecah menjadi dua bagian, yakniTransmission Control Protocol dan Internet Protocol(TCP/IP).
Grup diskusi Usenet pertama dibuat oleh Tom TruscottJim Ellis dan Steve Bellovin, alumni dariDuke University dan University of North CarolinaAmerika Serikat. Setelah itu, penggunaan Usenet pun meningkat secara drastis.
Pada tahun ini pula, 
emoticon diusulkan oleh Kevin McKenzie.
Awal 1980-an
Komputer pribadi (PC) mewabah, dan menjadi bagian dari banyak hidup manusia.
Tahun ini tercatat ARPANET telah memiliki anggota hingga 213 host yang terhubung.
Layanan 
BITNET (Because It's Time Network) dimulai, dengan menyediakan layanan e-mail,mailing list, dan juga File Transfer Protocol (FTP).
CSNET (Computer Science Network) pun dibangun pada tahun ini oleh para ilmuwan dan pakar pada bidang ilmu komputer dari 
Purdue University,University of WashingtonRAND Corporation, dan BBN, dengan dukungan dari National Science Foundation (NSF). Jaringan ini menyediakan layanane-mail dan beberapa layanan lainnya kepada para ilmuwan tersebut tanpa harus mengakses ARPANET.
1982
Istilah "Internet" pertama kali digunakan, dan TCP/IPdiadopsi sebagai protokol universal untuk jaringan tersebut.
Name server mulai dikembangkan, sehingga mengizinkan para pengguna agar dapat terhubung kepada sebuah host tanpa harus mengetahui jalur pasti menuju host tersebut.
Tahun ini tercatat ada lebih dari 1000 buah host yang tergabung ke Internet.
1986
Diperkenalkan sistem nama domain, yang sekarang dikenal dengan DNS (Domain Name System) yang berfungsi untuk menyeragamkan sistem pemberian nama alamat di jaringan komputer.
* Kejadian penting lainnya
Tahun 1971, Ray Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat.
Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex.
Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris berhasil mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link.
Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, maka dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 dibentuk transmisson contol protokol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan jasa e-mail dan newsgroup USENET.
Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, maka pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer lebih. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 lebih.
Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web.
Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Pada tahun yang sama yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran netscape navigator.
D.PERKEMBANGAN INTERNET
Internet telah membuat revolusi baru dalam dunia komputer dan dunia komunikasi yang tidak pernah diduga sebelumnya. Beberapa Penemuan telegram, telepon, radio, dan komputer merupakan rangkaian kerja ilmiah yang menuntun menuju terciptanya Internet yang lebih terintegrasi dan lebih berkemampuan dari pada alat-alat tersebut. Internet memiliki kemampuan penyiaran ke seluruh dunia, memiliki mekanisme diseminasi informasi, dan sebagai media untuk berkolaborasi dan berinteraksi antara individu dengan komputernya tanpa dibatasi oleh kondisi geografis.
Internet merupakan sebuah contoh paling sukses dari usaha investasi yang tak pernah henti dan komitmen untuk melakukan riset berikut pengembangan infrastruktur teknologi informasi. Dimulai dengan penelitian packet switching (paket pensaklaran), pemerintah, industri dan para civitas academica telah bekerjasama berupaya mengubah dan menciptakan teknologi baru yang menarik ini.
Perkembangan Sejarah intenet dapat dibagi dalam empat aspek yaitu :
1.    Adanya aspek evolusi teknologi yang dimulai dari riset packet switching (paket pensaklaran) ARPANET (berikut teknologi perlengkapannya) yang pada saat itu dilakukan riset lanjutan untuk mengembangkan wawasan terhadap infrastruktur komunikasi data yang meliputi beberapa dimensi seperti skala,performannce/kehandalan, dan kefungsian tingkat tinggi.
2.  Adanya aspek pelaksanaan dan pengelolaan sebuah infrastruktur yang global dan kompleks.
3.  Adanya aspek sosial yang dihasilkan dalam sebuah komunitas masyarakat besar yang terdiri dari para Internauts yang bekerjasama membuat dan mengembangkan terus teknologi ini.
4.  Adanya aspek komersial yang dihasilkan dalam sebuah perubahan ekstrim namun efektif dari sebuah penelitian yang mengakibatkan terbentuknya sebuah infrastruktur informasi yang besar dan berguna. Internet sekarang sudah merupakan sebuah infrastruktur informasi global (widespread information infrastructure), yang awalnya disebut “the National (atau Global atau Galactic) Information Infrastructure” di Amerika Serikat. Sejarahnya sangat kompleks dan mencakup banyak aspek seperti teknologi, organisasi, dan komunitas. Dan pengaruhnya tidak hanya terhadap bidang teknik komunikasi komputer saja tetapi juga berpengaruh kepada masalah sosial seperti yang sekarang kita lakukan yaitu kita banyak mempergunakan alat-alat bantu on line untuk mencapai
sebuah bisnis elektronik (electronic commerce), pemilikan informasi dan berinteraksi dengan masyarakat.
E.INTERNET SAAT INI

           
Internet dijaga oleh perjanjian bi- atau multilateral dan spesifikasi teknikal (protokol yang menerangkan tentang perpindahan data antara rangkaian). Protokol-protokol ini dibentuk berdasarkan perbincangan Internet Engineering Task Force (IETF), yang terbuka kepada umum. Badan ini mengeluarkan dokumen yang dikenali sebagai RFC (Request for Comments). Sebagian dari RFC dijadikan Standar Internet (Internet Standard), oleh Badan Arsitektur Internet (Internet Architecture Board - IAB). Protokol-protokol Internet yang sering digunakan adalah seperti, IP, TCP, UDP, DNS, PPP, SLIP, ICMP, POP3, IMAP, SMTP, HTTP, HTTPS, SSH, Telnet, FTP, LDAP, dan SSL. Beberapa layanan populer di Internet yang menggunakan protokol di atas, ialah email/surat elektronik, Usenet, Newsgroup, berbagi berkas (File Sharing), WWW (World Wide Web), Gopher, akses sesi (Session Access), WAIS, finger, IRC, MUD, dan MUSH. Di antara semua ini, email/surat elektronik dan World Wide Web lebih kerap digunakan, dan lebih banyak servis yang dibangun berdasarkannya, seperti milis (Mailing List) dan Weblog.
         Internet memungkinkan adanya servis terkini (Real-time service), seperti web radio, dan webcast, yang dapat diakses di seluruh dunia. Selain itu melalui Internet dimungkinkan untuk berkomunikasi secara langsung antara dua pengguna atau lebih melalui program pengirim pesan instan seperti Camfrog, Pidgin (Gaim), Trilian, Kopete, Yahoo! Messenger, MSN Messenger dan Windows Live Messenger. Beberapa servis Internet populer yang berdasarkan sistem tertutup (Proprietary System), adalah seperti IRC, ICQ, AIM, CDDB, dan Gnutella.

F.BUDAYA INTERNET

          Jumlah pengguna Internet yang besar dan semakin berkembang, telah mewujudkan budaya Internet. Internet juga mempunyai pengaruh yang besar atas ilmu, dan pandangan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses Internet yang mudah atas bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, Internet melambangkan penyebaran(decentralization) / pengetahuan (knowledge) informasi dan data secara ekstrim. Perkembangan 
Internet juga telah mempengaruhi perkembangan ekonomi. Berbagai transaksi jual beli yang sebelumnya hanya bisa dilakukan dengan cara tatap muka (dan sebagian sangat kecil melalui pos atau telepon), kini sangat mudah dan sering dilakukan melalui Internet.

         Transaksi melalui Internet ini dikenal dengan nama e-commerce. Terkait dengan pemerintahan, Internet juga memicu tumbuhnya transparansi pelaksanaan pemerintahan melalui e-government seperti di kabupaten Sragen yang mana ternyata berhasil memberikan peningkatan pemasukan daerah dengan memanfaatkan Internet untuk transparansi pengelolaan dana masyarakat dan pemangkasan jalur birokrasi, sehingga warga di daerah terebut sangat di untungkan demikian para pegawai negeri sipil dapat pula di tingkatkan kesejahterannya karena pemasukan daerah meningkat tajam.

G.TATA TERTIB 
INTERNET

     Sama seperti halnya sebuah komunitas, Internet juga mempunyai tata tertib tertentu, yang dikenal dengan nama Nettiquette atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah netiket. Untuk di Indonesia selain tata tertib sosial di Internet juga diberlakukan peraturan (UU ITE).

H.ISU MORAL DAN UNDANG-UNDANG

         Terdapat kebimbangan masyarakat tentang Internet yang berpuncak pada beberapa bahan kontroversi di dalamnya. Pelanggaran hak cipta, pornografi, pencurian identitas, dan pernyataan kebencian (hate speech), adalah biasa dan sulit dijaga. Hingga tahun 2007, Indonesia masih belum memiliki Cyberlaw, padahal draft akademis RUU Cyberlaw sudah dibahas sejak tahun 2000 oleh Ditjen Postel dan Deperindag.
         UU yang masih ada kaitannya dengan teknologi informasi dan telekomunikasi adalah UU Telekomunikasi tahun 1999. Internet juga disalahkan oleh sebagian orang karena dianggap menjadi sebab kematian. Brandon Vedas meninggal dunia akibat pemakaian narkotik yang melampaui batas dengan semangat dari teman-teman chatting IRCnya. Shawn Woolley bunuh diri karena ketagihan dengan permainan online, Everquest. Brandes ditikam bunuh, dan dimakan oleh Armin Meiwes setelah menjawab iklan dalam Internet.

I.AKSES INTERNET

         Negara dengan akses 
Internet yang terbaik termasuk Korea Selatan (50% daripada penduduknya mempunyai akses jalurlebar - Broadband), dan Swedia. Terdapat dua bentuk akses Internet yang umum, yaitu dial-up, dan jalurlebar. Di Indonesia, seperti negara berkembang dimana akses Internet dan penetrasi PC sudah cukup tinggi dengan di dukungnya Internet murah dan netbook murah, hanya saja di Indonesia operator kurang fair dalam menentukan harga dan bahkan ada salah satu operator yang sengaja membuat "perangkap jebakan" agar supaya si pengguna Internet bayar lebih mahal sampai ber juta-juta rupiah!!, lainnya sekitar 42% dari akses Internet melalui fasilitas Public Internet akses seperti warnet , cybercafe, hotspot dll. Tempat umum lainnya yang sering dipakai untuk akses Internet adalah di kampus dan di kantor.

        Disamping menggunakan PC (Personal Computer), kita juga dapat mengakses Internet melalui Handphone (HP) menggunakan Fasilitas yang disebut GPRS (General Packet Radio Service). GPRS merupakan salah satu standar komunikasi wireless (nirkabel) yang memiliki kecepatan koneksi 115 kbps dan mendukung aplikasi yang lebih luas (grafis dan multimedia). Teknologi GPRS dapat diakses yang mendukung fasilitas tersebut. Pen-setting-an GPRS pada ponsel Tergantung dari operator (Telkomsel, Indosat, XL, 3) yang digunakan. Biaya akses Internet dihitung melalui besarnya kapasitas (per-kilobite) yang didownload.


Rabu, 05 November 2014

PROPOSAL

HASIL PENELITIAN

RITUAL KAGHOMBO SEBAGAI MAKNA INTERAKSI SIMBOLIK DALAM MASYARAKAT MUNA
(Studi Kasus di Desa Lagadi, Kecamatan Lawa)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEia_0XcNQoZE2D53mSyIGuQhCu2Jmcn9iF_rtQ6FF97H94GhkGeCjXv6S5E2p0vqnvosex2xP83wjBq6FV0_180o1Q34Rtp6tzKa3WWTLNGXjoGuZvnIVd-S2bUo807SwwlzDO6WKBT_UY/s320/Logo+Universitas+Halu+Oleo+UHO.png
OLEH:
DADANG PURNOTO
C1 D1 11 241

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI

2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Muna telah menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai pola kehidupan global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut telah mengancam keberadaan ritual lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan masyarakatnya (Giddens 2003: 9-15).
Dimana perubahan dapat dilihat dengan berubahnya waktu pelaksanaan ritual kaghombo, proses pelaksanaan ritual kaghombo, serta alat-alat yang digunakan dalam ritual kaghombo tersebut. Ritual kaghombo dilaksanakan oleh masyarakat Muna, baik yang berada pada komunitas masyarakat Muna maupun pindah di daerah  lain. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ritual  kaghombo  pertama kali diadakan selama 40 hari 40 malam oleh raja Muna XVI yang memerintah pada 1716-1757 M yaitu La Ode Huseini (Omputo Sangia). Namun, pelaksanaan ritual kaghombo sekarang tidak lagi seperti yang diadakan oleh raja Muna yaitu selama 40 hari 40 malam tetapi ritual kaghombo sekarang adalah dengan adanya perubahan maka waktu pelaksanaan ritual kaghombo menjadi 4 hari 4 malam. Ritual ini berkembang dalam masyarakat Muna  sebagai ritual ‘’pelunasan‟ tanggung jawab orang tua terhadap anak perempuannya. Mereka akan merasa berdosa bila menikahkan anaknya tanpa menjalankan ritual  kaghombo. Ritual ini juga dianggap sebagai pembekalan nilai-nilai etika, moral, dan spritual terhadap anak perempuan agar kelak dalam mengarungi bahtera rumah tangga, ataupun dalam kehidupan bermasyarakat dapat mengerti dan menempatkan diri dengan baik sebagai seorang perempuan yang dimuliakan kedudukannya. Hal ini mempertegas status kalambe wuna sebagai perempuan yang patut dihargai dan dituntut mampu menjaga kehormatan keluarga (Couvreur, 2001:1-4).
Ritual kaghombo ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Muna  yang memiliki adat-istiadat dalam setiap menjalani siklus kehidupan. Pewarisan ritual ini di dapatkan secara langsung dari keturunan keluarga. Proses pewarisan yang terjadi di dalam masyarakat pendukung ritual ini, meliputi segala hal yang berhubungan dengan proses pelaksanaan, penentuan  waktu maupun yang berhubungan dengan tata cara pelaksanaannya. Mantra atau  bhatata  yang digunakan dalam ritual ini juga diwariskan dari pembawa ritual. Hal ini menggambarkan ritual  kaghombo merupakan milik  kolektif masyarakat Muna. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muna juga menghargai ritual dan kebudayaan etnis lain, tetapi dalam interaksi tertentu tetap berperilaku dan hidup menurut budaya mereka sendiri.
Masyarakat Muna memahami ritual ini sebagai puncak dari ritual yang harus dilakukan kaum perempuan sebelum memasuki pernikahan. Pada setiap ritual masyarakat Muna dipahami sebagai rangkaian atau proses adat atau tata cara yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai kejadian dalam masyarakat pendukungnya. Begitupun halnya dengan ritual kaghombo, dianggap sebagai doa dan dipercaya dapat membersihkan jiwa dan raga kaum perempuan dari hal-hal yang buruk selama hidupnya.
Ritual adalah bentuk perayaan yang berhubungan dengan beberapa  kepercayaan atau agama ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa normal atau seperti biasa yang dirasakan oleh semua manusia yang leluhur dalam arti suatu pengalaman yang suci (Hadi, 1999:29-30).
Ritual  kaghombo  mempunyai peranan dan kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Muna. Ritual ini merupakan siklus hidup perempuan Muna yang dilakukan sebagai  tutura (pencerahan). Tutura  kaghombo dapat memperlihatkan kematangan diri perempuan dalam menghadapi kehidupan secara khusus dalam berumah tangga dan pembauran dalam masyarakat secara umum.
Ritual kaghombo menjadi simbol proses terciptanya manusia dari setetes darah hingga  menjadi manusia sempurna. Hal ini mempertegas ritual  kaghombo memuat falsafah hidup bagi masyarakat Muna yang senantiasa membimbing masyarakat Muna untuk bersikap baik, saling menghargai, menghormati orang yang lebih tua dan mengutamakan kebersamaan masyarakat Muna.
Selain itu juga dapat dikatakan bahwa ritual kaghombo merupakan ekspresi dan interaksi simbolik dalam masyarakat Muna, khususnya bagi masyarakat Muna desa lagadi yang memiliki anak perempuan. Hal ini disebabkan ritual tersebut juga memuat pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
Dari uraian latar belakang, penelitian ini berusaha mengkaji keberadaan  ritual kanghombo sebagai makna interaksi simbolik dalam masyarakat Muna khususnya dalam masyarakat Desa Lagadi. Kaghombo sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar pemikiran kehidupan bermasyarakat dalam ruang lingkup masyarakat Muna.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dikemukakan dua masalah yang berkaitan dengan ritual kaghombo sebagai makna interaksi simbolik dan hubungannya dengan pelestarian dan pengembangan ritual  pada masyarakat Muna, yaitu:
1.      Bagaimaana eksistensi (keberadaan) ritual kaghombo sebagai interaksi simbolik dalam  masyarakat muna Desa Lagadi ?
2.      Apakah ada perubahan ritual  Kaghombo dari zaman ke zaman, sehingga ritual kaghombo menjadi tidak lazim lagi bagi masyarakat Muna Desa Lagadi ?








1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
  1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan:
1.    Untuk mengetahui eksistensi (keberadaan) ritual kaghombo sebagai interaksi simbolik dalam  masyarakat Muna Desa Lagadi.
2.    Untuk mengetahui pergeseran ritual Kaghombo dari zaman ke zaman, sehingga ritual kaghombo menjadi tidak lazim lagi bagi masyarakat Muna Desa Lagadi ?

1.3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya pelestarian budaya daerah yang hampir terlupakan.

Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1.    Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan Dapat memberikan pemahaman akan pentingnya nilai-nilai kearifan lokal bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya dalam bidang kehumasan.

2.    Secara Praktis, penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi masyarakat muna, khususnya mayarakat muna di Desa Lagadi yang menjadi tempat penelitian.

3.      Secara Metodologis, penelitian ini dapat menjadi bahan kajian bagi penelitian selanjutnya yang relevan dengan masalah yang diteliti.


I.4. Sistematika Penelitian
BAB I. PENDAHULUAN, merupakan bagian yang menjelaskan dasar pemikiran standar akademik dan ilmiah. Bagian ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penukaghombo.
BAB II. TINJAUAN PENELITIAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentang tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran memuat pengertian ritual, kaghombo, pelaksanaan kaghombo sesuai ketentuan adat, tahap pelaksanaan upacara kaghombo, landasan teori dan kerangka pemikiran.
BAB III. METODE PENELITIAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentang metode penelitian yang memuat lokasi penelitian, penentuan informan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentang hasil dan pembahasan dari penelitiana ini yang telah dilaksanakan di lokasi penelitian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentan kesimpulan dan saran dari uraian hasil dan pembahasan.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1  Tinjauan Pustaka
2.1.1 Ritual
Ritual merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan hal-hal yang dianggap sakral. Ritual dipahami sebagai bentuk penyelenggaraan hubungan antara manusia kepada yang gaib, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia pada lingkungannya. Untuk itu ritual bukan hanya dianggap sebagai sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok, tetapi sebagai cara perayaan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat.
Ritual merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat dalam siklus kehidupan sejak zaman dahulu. Dalam proses pelaksanaannya ritual tidak terlepas dari penggunaan bahasa dan kata-kata sebagai media penyampaiannya. Bahasa dan kata-kata yang sering digunakan dalam ritual disebut mantra.
Turner (Endraswara, 2003:175) mengelompokkan ritual menjadi dua yaitu: pertama, ritual krisis hidup artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, seseorang akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup termasuk di dalamnya kelahiran, pubertas dan kematian. Kedua, ritual gangguan yakni ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia.
Berdasarkan klasifikasi ritual yang disebutkan diatas, ritual  kaghombo termasuk pada kelompok yang pertama berhubungan dengan masa peralihan yakni masa peralihan perempuan remaja ke usia yang lebih dewasa atau masa peralihan ke jenjang perkawinan. Biasanya pada masa ini akan terjadi krisis hidup yang akan menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif dalam kehidupannya. Untuk itu, masyarakat Muna khususnya kaum perempuan yang akan melewati masa ini, terlebih dahulu akan melewati proses ritual  kaghombo  agar kelak dalam kehidupan yang akan datang telah siap secara lahir batin.
Tahapan dalan ritual ini mengajarkan pada perempuan agar selalu siap menghadapi segala hal yang akan terjadi dalam kehidupan sehari-harinya atau dalam rumah tangganya. Selain itu, ritual juga mempunyai fungsi untuk keberlangsungan hidup yaitu: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melalui individu dan kelompok; (2) ritual menjadi sarana pendukung untuk mengungkapkan emosi; dan (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial (Endraswara, 2003:175).
Berdasarkan uraian konsep ritual diatas dapat saya disimpulkan bahwa ritual adalah sarana yang menghubungkan manusia dengan hal-hal yang dianggap sakral. Ritual merupakan bagian dari proses pelaksanaannya kaghombo yang tidak terlepas dari penggunaan bahasa dan kata-kata sebagai media penyampaiannya. Ritual dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu ritual krisis hidup dan ritual gangguan. Ritual krisis hidup artinya ritual yang berhubungan dengan hidup manusia dimana seseorang akan masuk dalam lingkup perubahan tahap hidup seperti kelahiran, pubertas dan kematian. Sedangkan ritual gangguan yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh halus agar tidak mengganggu manusia. Dalam ritual ini perempuan diajarkan agar selalu siap menghadapi segala hal yang akan terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam rumah tangganya.    
2.1.2 Kaghombo
Ritual kaghombo merupakan upacara adat bagi masyarakat Muna yang pertama kali diadakan pada masa pemerintahan raja Muna XVI, bernama La Ode Huseini yang bergelar Omputo Sangia terhadap putrinya yang bernama Wa Ode Kamomono Kamba (La Oba, dkk. 2008:4). Oleh sebab itu, setelah proses Kaghombo selesai maka perempuan lahir bagaikan kertas putih dan memahami seluk beluk kehidupan duniawi khususnya berkaitan dengan kehidupan berumah tangga menuju pada pembentukan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.
Ritual kaghombo sebagai salah satu bagian dari budaya masyarakat Muna yang tidak akan pernah berdiri sendiri tanpa masyarakat pendukungnya. Menurut Kayam (1981:38-39), masyarakat adalah faktor penting dalam menyangga kebudayaan, mencipta, memberi kebebasan bergerak, memelihara, mengembangkan untuk menciptakan kebudayaan baru.
Hal ini sejalan dengan Koentjaranigrat (2000:5-8) yang menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: (1) sebagai kumpulan dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya, (2) sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan perpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Baginya budaya juga berkenaan dengan cara hidup manusia, belajar, berpikir, mempercayai dan mengusahakan sesuatu yang berhubungan dengan budayanya, sehingga budaya atau ritual memiliki sifat yang dinamis dan dapat berubah-ubah. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaranigrat (2000:5) diatas bahwa wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas masyarakat yang kompleks, dan sebagian masyarakat dalam proses penyempurnaan hidupnya akan mengupayakan segala hal agar tetap bertahan hidup.
Sebuah ritual kaghombo juga berpotensi untuk berubah dan bertahan. Perubahan dalam ritual kaghombo terjadi karena tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Disisi lain, ritual berpotensi bertahan, karena mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang hidup ditengah dinamika kemajuan teknologi dan perkembangan zaman. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi akibat gejolak yang timbul dari tatanan kehidupan masyarakat, baik pemerintah, masyarakat sebagai pendukung ritual maupun pelaku/penutur ritual itu sendiri. Ritual kaghombo  juga mengalami perubahan, namun perubahannya tidak secara keseluruhan. Perubahan dapat dilihat dari uraian proses pelaksanaan ritual kaghombo.
Berdasarkan uraian konsep kaghombo di atas dapat saya simpulkan bahwa kaghombo merupakan upacara adat bagi masyarakat muna. Bagi perempuan yang telah menjalankan kaghombo, maka perempuan tersebut lahir bagaikan kertas putih dan memahami seluk beluk kehidupan khususnya berkaitan dengan kehidupan berumah tangga menuju pada pembentukan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Kaghombo juga berpotensi untuk berubah dan bertahan. Perubahan kaghombo terjadi karena masyarakat muna tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Di sisi lain ritual kaghombo berpotensi bertahan karena mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang hidup ditengah dinamika kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.
 2.1.3 Kebudayaan Dalam Komunikasi
Kebudayaan merupakan sebuah lensa dimana, seperti halnya saat kita menggunakan lensa. Untuk meneropong sesuatu kita harus memilih suatu obyek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Beberapa orang awam mengartikan kebudayaan merupakan sebuah seni. Kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antar manusia.
Kebudayaan merupakan pola hidup yang bersifat mencakup segalanya. Selain itu kebudayaan bersifat kompleks, abstrak, dan merasuki semua aspek dan segi kehidupan. Menurut Ruben (1984 : 302-312) menyebutkan beberapa karakteristik dari kebudayaan (subbudaya) yaitu kompleks dan banyak segi tidak dapat dilihat berubah sejalan dengan waktu. Jika kita menganalisis dan mempelajari suatu kebudayaan, baik kebudayaan kompleks dari unit masyarakat yang beda maupun kebudayaan (subbudaya) dari unit hubungan kecil yang lebih akrab (seperti komunitas penjara, lembaga pendidikan , kelompok etnis dll) akan ditemukan sejumlah segi yang komplek dan saling berkaitan berperan didalamnya, sehingga sangat sulit untuk mengidentifikasi dan melakukan kategorisasi (khususnya untuk unit masyarakat yang besar/luas akan banyak sekali unsur-unsur yang berperan sehingga sulit mengidentifikasi dan melakukan kategorisasi).
kebudayaan dapat dikatakan lebih cenderung pada tindakan-tindakan individu sebagai birokrat. Bukan individu secara umumnya. Namun level kajian Mead tidak makro seperti kajian-kajian dari Max, Durkheim, dan Weber. Mead lebih cenderung menerapkan gagasan kemunculan kebebasan pada proses kesadaran ketimbang menerapkannya pada masyarakan yang lebih luas. Jadi, pikiran dan diri dipandang sebagai bentuk proses sosial yang baru muncul.
Wiliam James dan John Dewey sangat mempengaruhi Mead  dalam kajian prakmatisnya, sehingga dengan sedikit campuran kajian psikologi, Mead dapat membentuk suatu skema filosofis dan psikologi sosial yang benar-benar baru. Dapat dikatakan, Mead adalah salah satu penganut aliran behaviorisme yang melihat individu bukan dari siapa dia, namun melihat pada kerangka perilakunya.
Dimensi yang paling mendasar dari kebudayaan adalah bahasa, adat kebiasaan kehidupan keluarga, cara berpakaian, cara makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, falsafah ekonomi, keyakinan, dan sistem nilai. Unsur-unsur ini tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya tetapi malah saling berinteraksi satu dengan yang lainnya terbentuklah suatu sistem kebudayaan tersendiri. Misalnya, kecenderungan punya banyak anak tidak  dapat dijelaskan dari segi adat kebiasaan saja tetapi dapat juga dijelaskan dari segi agama, ekonomi, kesehatan dan mungkin dari segi teknologi dari masyarakat yang bersangkutan.
Tetapi dibarat dengan perkembangan ekonomi yang cukup tinggi, mengecilnya jumlah anak dalam keluarga dipengaruhi oleh kompleksitas segi ekonomi, kondisi sosial serta sikap yang berkaitan dengan pembagian peranan sosial anatar pria dan wanita. Inilah penjelasan kompleks dan banyak segi.
Kebudayaan tidak dapat dilihat. Maksudnya, keberadaan kebudayaan dalam kehidupan tidak nyata terlihat secara fisik tetapi merasuk dalam segala segi kehidupan, sehingga tidak diperhatikan dan tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan eksistensi (keberadaan) kehidupan baru muncul ketika terjadi :
1.      Anggota kebudayaan (subbudaya) melakukan pelanggaran terhadap standar-standar kebudayaan yang berlaku selama ini.
2.      Bertemu secara kebetulan dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan atau subbudaya lain dan ketika terjadi interaksi terlihat adanya perbedaan tingkah laku yang selama ini dikenalnya dan dilakukannya.
Kebudayaan dengan masyarakat. Melville J. hendskovits dan Bronislaw Malinowki mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah kultural-determinism.Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari suatu generasi yang lain yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, dan lain-lain, kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan dalam bermasyarakat.
Berdasarkan uraian konsep kebudayaan dalam komunikasi dapat saya simpulkam bahwa kebudayaan merupakan pola hidup yang bersifat mencakup segalanya. Kebudayaan tidak dapat dilihat.  kebudayaan dalam kehidupan tidak nyata terlihat secara fisik tetapi merasuk dalam segala segi kehidupan, sehingga tidak diperhatikan dan tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaan kebudayaan dalam kehidupan, muncul ketika terjadi anggota kebudayaan melakukan pelanggaran terhadap standar-standar kebudayaan yang berlaku selama ini. Bertemu secara kebetulan dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan atau subbudaya lain dan ketika terjadi interaksi terlihat adanya perbedaan tingkah laku yang selama ini dikenalnya dan dilakukannya.
2.1.4   Simbol Dalam Komunikasi
Komunikasi atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Deddy Mulyana : 2005). Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, dan menggunakan kata-kata yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.
Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaa objek serperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi dan gaya berbicara. Sedangkan komunikasi verbal adalah digunakan dalam katat-kata.
       Fungsi komunikasi nonverbal
       Fungsi pertama : Repitisi
Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal. Misalnya, anda menggunakan kepala ketika mengatakan “Ya,” atau menggelengkan kepala ketika mengatakan tidak, atau menunjukan arah (dengan telunjuk) kemana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.
Fungsi kedua : subtitusi
Perilaku nonverbal dapat menggantikan verbal, jadi tanpa berbicara anda bisa berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, seorang pengamen mendatangi mobil anda kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun anda menggoyangkan tangan anda dengan telapak tangan mengarah kedepan (sebagai pengganti “tidak”). Isyarat nonverbal yang menggantikan kata atau frasa inilah yang disebut emblem.
Fungsi ketiga : kontradiksi
Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal dan bisa memberikan makna lain terhadap pesan verbal. Misalnya, anda memuji prestasi teman sambil mencibirkan bibir.
Fungsi keempat : eksentuasi
Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya, menggunakan gerakan tangan, nada suara yang melambat ketika berpidato. Isyarat nonverbal tersebut affect display.
Fungsi kelima : komplemen
Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya, saat kuliah akan berakhir, anda melihat jam tangan dua-tiga kali sehingga dosen segera menutup kuliahnya.
Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya. Simbol-simbol, serta seperti cara berbicara seperti intonasi penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.
Bahasa nonverbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam presentasi, dimana penyampaiannya bukan dengan kata-kata ataupun suara tetapi melalui gerakan-gerakan anggota tubuh yang sering dikenal dengan istilah bahasa isyarat atau body language. Selain itu juga, penggunaan bahasa nonverbal dapat melalui kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan penggunaan simbol-simbol.
Menurut Atep Adya Barata mengemukakan bahwa : “komunikasi nonverbal yaitu komunikasi yang diungkapkan melalui pakaian dan setia kategori benda lainnya ( the objek language), komunikasi dengan gerak (gesture) sebagai sinyal (sign language), dan komunikasi dengan tindakan atau gerakan tubuh (action language).
Para ahli dibidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan defenisi “tidak menggunakan kata” dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi nonverbal dengan komunikasi nonkaghombo. Contohnya, bahasa isyarat dan tukaghombo tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena mengguanakan kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunkasi nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun nonverbal.
Dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang arti atau makna dari simbol-simbol komunikasi sebagai berikut :
1.      Onong Uchjana Effendy (1994) dalam bukunya ilmu komunikasi, teori dan praktek bahwa peoses komunikasi primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dakam bentuk lambang (simbol) sebagai media. Lambang dalam komunikasi primer adalah bahasa, kias, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya, yang secara langsung mampu “menterjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator (sender) kepada komunikan (receiver).
2.       Bahasa menjadi lambang yang paling banyak digunakan dalam proses komunikasi merupakan suatu hal yang jelas karena hanya bahasalah yang dapat “memterjemahkan” pikiran seseorang kepada orang lain (onong Uchjana Effendy : 1994)
3.      Menurut P. Gauguin and O Redon, Ensiklopedia VI hal 3178 : simbolisme adalah gerakan baru dalam seni. Dalam hal seni lukis sebagai reaksi terhadap gerakan naturalism, dimana gerakan naturalis mengutakan gerakan yang sewajarnya atau sesuai dengan hal-hal yang nyata. Sseorang tidak usah meluliskan kenyataan secara seksama (naturalis) dan setia warna, bentuk, maupun garis tetapi dapat menimbulkan berbagai perasaan atau makna simbolis.
4.      Menurut Charles Sanders Peirce (Teori Trikonomi Semiotika Arsitektural) : simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai hubungan yang sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian (Arbit Rary Relation) antara penanda dan petanda. Soepomo (Halim Et.At; 1979 : 14), mengatakan bahwa seseorang yang terlibat dalam praktik menggunakan dua bahsa secara bergantian itulah yang disebut dengan dwibahasawan.
5.      Sedangkan dalam bahasa sign, simbol and arcitekture, Carles Sander Peirce menjelaskan : simbol adalah suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus.
6.      Menurut Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa arcitektur simbolisme merupakan arcitektur yang sekedar mengejar kenikmatan panggung status sosial dengan menempelkan simbol-simbol baru pada zamannya dimana tidak jarang merupakan kegiatan plagiatisme.
7.       Menurut Carles Sanders Peirce (Teori Trikonomi Semiotika Arcitektural) : simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai hubungan yang sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian (Arbit Rari Relation) antara penanda dan petanda sedangkan dalam sign, simbol and Arcitekture, Charles Sanders Peirce menjelaskan : simbol adalah suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus.
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan. Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generatio of meaning).
Berdasarkan uraian di atas dapat saya simpulkan bahwa symbol dalam komunikasi terbagi dua yaitu pesan verbal dan  pesan nonverbal. Di mana pesan verbal adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan kata-kata dan dipahami suatu komunitas atau lawan bicara. Sedangkan pesan nonverbal adalah proses penyampaian pesan tidak menggunakan kata-kata. Komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata. Simbol adalah suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus.
2.2   Teori Interaksi Simbolik (George Herbert Mead, 1863-1931)
Adapun teori yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah teori interaksi simbolik menurut Geoge Herbert Mead, yang dimana Geroge Herbert Mead memiliki pemikiran yang mempunyai sumbangan besar terhadap ilmu sosial dalam perspektif teori yang dikenal dengan interaksionisme simbolik, yang menyatakan bahwa komunikasi manusia berlangsung melalui pertukaran simbol serta pemaknaan simbol-simbol tersebut. Mead menempatkan arti penting komunikasi dalam konsep tentang perilaku manusia, serta mengembangkan konsep interaksi simbolik.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia :
Simbol (kata benda)  : lambang
Simbolik (adjektif) : sebagai lambang, menjadi lambang, mengetahui lambang.
Simbolisme : perihal pemakaian simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide.
Menurut kamus Webster :
Simbolik :
·         Simbol merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana  untuk mempresentasikan sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung merpati sebagai simbol kedamaian.
·         Simbol merupakan sebuah tanda, isi yang singkat menyertai sifat sebuah objek, proses berkualitas, kuantitas, memenuhi muatan-muatan tertentu. Misalnya, simbol pada konteks bidang musik, kimia, matematika, dan lain-lain.
Teori interaksi simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhir teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto.2007 : 40).
Dalam terminology yang dipikirkan Mead, setiap isyarat nonverbal dan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula prilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.
Konsep semiotika menurut Charles S. Pierce bahwa semua cara berpikir bergantung pada penggunaan tanda-tanda. Pierce berpendapat bahwa setiap pikiran adalah tanda,dan bahwa setiap tindakan penalaran terdiri dari penafsiran tanda. Manusia hanya berpikir dalam tanda. Manusia berkomunikasi dalam tanda untuk memahami dan berpikir tentang dunia. Menurut Pierce untuk memahami sebuah tanda terlebih dahulu harus diamati utnuk menangkap fungsi dari tanda tersebut reprentatif, interpretative.
Ikon merupakan tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya atau tanda dan acuannya memiliki kemiripan. Tanda yang dimiliki cirri-cirinya sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya dalam pertandingan sepak bola dunia sering kita menjumpai iklan yang memperlihatkan singa sedang bermain atau menendang bola, singa yang menendang bola merupakan contoh ikon sepak bola.
Indeks merupakan hubungan tanda dengan acuannya berdasarkan kedekatan eksistensial dengan kata lain indeks dikaitkan dengan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Misalnya dalam sebuah jalan terdapat penunjuk jalan menandakan keberadaan manusia yang sering melewati jalan tersebut. Contoh lain adalah sikat gigi yang basah. Asap merupakan indeks adanya api.
Simbol adalah hubungan tanda dan acuanya ditentukan suatu peraturan yang berlaku umum berdasarkan peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama yang bersifat universal. Contoh simbol lingkaran dengan garis merah menyilang ditengahnya merupakan simbol dilarang merokok, contoh lain adalah lambang-lambang resmi yang biasa digunakan perusahaan, produk, lembaga pendidikan, dan lain-lain merupakan simbol superman didalamnya dengan huruf “S”.
Tanda adalah sesuatu bagi  seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam kaitan atau kapasitas tertentu. Tanda mengarak kepada seseorang, yakni menciptakan dalam pikiran orang itu suatu tanda lain yang setara, atau bisa juga suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang tercipta disebut interpretan dari tanda yang pertama. Suatu tanda yang pertama mewakili sesuatu, yaitu objek-nya. Tanda yang pertama mewakili objeknya tidak dalam kaitan, tetapi dalam kaitan suatu gagasan tertentu.
Menurut Charles Sanders Peirce, tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam suatu kaitan tertentu. Rada rumit memang, tapi begitulah. Mari kita uraikan defenisi Peirce itu kedalam bagian-bagiannya.

1.      Defenisi Lambang
Lambang yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia termasuk bahasa.
2.        Defenisi Simbol
Simbol merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasekan sesuatu hal yang bersifat abstrak. Misalnya, burung merpati sebagai simbol ketahanan.
Mrnurut Sanders Peirce (Teori Trikonomi Semiotika Arsitektural) : simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai hubungan yang sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian (Arbitrary relation) antara penanda dan petanda. Sedangkan dalam sign, simbol and Architecture, Charles Sanders Peirce menjelaskan : simbol merupakan suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus.
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (The Generation Of Meaning). Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang lebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, mendorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistem tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang lain tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut, adapun teori semiotika yang diungkapkan para ahli adalah :
Semiotika berasal dari kata Yunani : senion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, semiotika sebagai metode kajian kedalam berbagai cabang keilmuan, dimungkinkan karena adanya kecenderungan untuk memandang berbagai warna sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai warna sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dikatakan sebagai tanda. Hal ini diuangkapkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.
Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu; pengirim, penerima kode (sistem kode), pesan, saluran komunikasi dan acuan hal yang dibicarakan. Dan semiotika signifikan memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya pada suatu konteks tertentu.
Semiotika atau semiologi merupakan teknologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan dieropa, sedangkan semiotic lazim dipakai oleh ilmuwan amerika. Istilah yang berasal dari Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotic didefenisikan sebagai berikut.
Semiotic biasanya sebagai teori filsafat umum yang berkenan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian daris sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotic meliputi tanda-tanda fisual dan verbal serta tactile dan olfaktory semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indra yang kita miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis disetiap kegiatan dan perilaku manusia.
Dalam teori semiotika, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik disebut sebagai representasi. Secara lebih dapat didefenisikan sebagai penggunaan “tanda-tanda” (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik.
Semiotika menurut Burger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand De Saussure (1857-1913) dan Charles Senders Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistic, sedangkan Peirce Filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkankannya semiologi (semiologi).
Menurut Charles S. Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotic). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetap pada segala macam tanda. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer dari pada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign). Berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda.
Tujuan utama semiotika media adalah mempelajari bagaimana media massa menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri, yaitu; apa yang diamksudkan atau dipresentasikan oleh sesuatu; bagaimana makna yang digambarkan; dan mangapa memiliki makna sebagaimana ia tampil.
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991 : 54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Dimana ada tanda disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata/gambar) dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut signifier, bidang penanda atau konsep/makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, penanda merupakan konsep atau yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (Level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, kata, gambar, warna. Objek dan sebagainya. Dan dalam ungkapan Yasraf Amir Pilliang dalam pengantarnya yang berjudul “memahami tanda komunikasi”, mengatakan: “sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu tentang tanda, tentunya semiotika mempunyai prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Akan tetapi pengertian “ilmu” dan “Ilmu semiotika” tidak dapat disejajarkan dengan “ilmu alam” yang menuntut ukuran-ukuran matematis yang pasti untuk menghasilkan sebuah pengetahuan “objektif” sebagai sebuah “kebenaran tunggal”. Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan dan objektifitas macam itu, melainkan dibangun oleh “pengetahuan” yang lebih terbuka bagi anekan unterpretasi”.
Semiotika merupaka sebuah rana keilmuan jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi, bukan sebuah “benteng kebenaran”, yang diluar benteng itu semuanya adalah “musuh kebenaran” semiotika pada kenyataannya adalah ilmu yang terbuka sebagai interpretasi. Dan kita tau bahwa logika “interpretasi” bukanlah logika ”matematika”, yang hanya mengenal kategori “benar” dan “salah”. Logika semiotika adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya:”interpretasi yang satu lebih masuk akal dari pada yang lainnya”.
Dengan demikian semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni: (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik bisa dipresepsi indra kita,tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunaannya sehingga disebut tanda. Misalnya; mengacungkan jempol pada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung. Sedangkan menurut para ahli seperti George Herbert Mead.
George Herbert Mead, dia sangat tekun dalam mempelajari dan mendalami pemikiran dari Charles Darwin, meskipun dia bukan termasuk darwinisme sosial yang mana merupakan unsur yang paling penting dalam perspektif ilmu sosial, tetapi Mead sangat mengagumi konsep tentang evolusi Darwin karena konsep tersebut dianggap Mead sebagai petunjuk dengan menekankan pada proses, perubahan, ketidak stabilan dan perkembangan esensi dari sebuah kehidupan sosial.
Mead menerima prinsip Darwin bahwa organism terus-menerus terlibat dalam usaha penyesuaian diri dengan lingkungannya, dan lewat dari peoses inilah karakter dari suatu organisme mengalami peoses perubahan yang terus-menerus atau dinamis. Pemikiran Mead tentang teori Darwin adalah bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan kerangka evolusi dari teori Darwin. Mead melihat bahwa pikiran manusia sebagai suatu hasil yang muncul melalui proses evolusi yang ilmiah dan pikiran tersebut akan terus berkembang sejalan dengan dinamika yang muncul serta prosedur yang telah dilewati.
Selain terpengaruh oleh pemikiran teori evolusi dari Darwin. George Herbert Mead diilhami oleh para tokoh filsafat dan psikologi seperti Wiliam James adalah orang pertama yang mengembangkan konsep “self” diri secara jelas. Menurut James, manusia mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagai objek dan dalam kemampuan itu, manusia bisa mengembangkan sikap dan perasaan terhadap dirinya sendiri. Ia juga dapat membentuk tanggapan terhadap perasaan dan sikap tersebut. James mengakui pentingnya kemampuan dalam membentuk cara pandang seseorang dalam menanggapi dunia disekitarnya.
Tokoh filosof yang lain yang mempengaruhi Mead adalah John Dewey yang merupakan pendukung utama pragmatisme. Dewey memusatkan perhatian pada  proses penyesuaian manusia terhadap dunia. Menurutnya, keunikan manusia muncul dari proses penyesuaian diri dengan kondisi hidupnya. Dewey menegaskan bahwa yang unik dalam diri manusia adalah kemampuannya untuk berpikir, konsep Dewey tentang pikiran sebagai suatu proses penyesuaian diri dengan lingkunganlah yang mempengaruhi Mead.
Dewey telah menunjukkan bahwa pikiran timbul dari interaksi dengan dunia sosial. George Herbert Mead terinspirasi dengan konsep dari dua filosof tersebut dikarenakan mempunyai Mead mempunyai intensitas kedekatan yang lain cukup sering dengan aliran psikologi khususnya behaviorisme. Behaviorisme memiliki pandangan bahwa kehidupan manusia harus dipahami pada kerangka perilaku (behaviour) mereka, dan bukan dari kerangka siapa dia.
George Herbert Mead tidak memahami behaviorisme sekedar mereduksi hubungan sosial sebagai rumus stimulus dan respon, melainkan Mead menjelaskan dalam konteks yang lebih luas dari pada itu. Gagasan Mead mengenai hal tersebut dalam pandangan para filosof dikatakan sebagai pragmatisme, karena bagi George Herbert Mead pragmatism berhasil melihat organisme sebagai ciptaan yang berhubungan dengan kondisi dunia yang paling terkini, karena mereka akan berinteraksi akan menyesuaikan keadaan yang ada.
Mead mengatakan bahwa behaviorisme sosial didalamnya terdapat semacam loncatan dari investigasi ilmiah. Maksudnya adalah bahwa metode yang ditemukan tidak hanya mampu melakukan observasi perilaku yang terang dan jelas, tetapi juga dapat mengobservasi perilaku yang tidak jelas yang keduanya tersebut dapat diketahui dengan melalui metode introspeksi.
Selain itu, George Herbert Mead dipengaruhi oleh Max Weber dengan teorinya tentang interaksi dan tindakan. Max Weber dalam teori ini mengemukakan bahwa masyarakat hanya merupakan satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu, dan menurut Max Weber konsep fakta sosial seperti struktur sosial. Kelompok sosial yang lebih dari sekedar individu dari perilakunya dianggap sebagai abstraksi spekulatif tanpa dasar empiric, sehingga Max Weber menginterpretasikan individu dari tindakannya sebagai tindakan dasar atau sebagai “otorinya”.
Max Weber mengemukakan bahwa antara individu yang satu dengan individu yang lainnya berinteraksi satu sama lain diwujudkan dengan adanya suatu tindakan maupun perilaku. Namun tidak semua tindakan ataupun perilaku individu adalah suatu manifestasi yang rasional. Rasionalis hadir dalam diri seorang individu dengan terlebih dahulu melewati proses pemikiran, dimana makna sebuah pemikiran adalah sesuatu yang penting dalam mengerti manusia dimana pemilikan karakter-karakter ini membuat esensi berbeda dengan perilaku binatang. Dan Max Weber membuat klasifikasi tentang tipe-tipe tindakan sosial dengan menggunakan konsep dasar “rasionalisme” yaitu ada tindakan yang rasional dan non rasional. Menurut Weber, tindakan rasional dihubungkan dengan kesadaran dari pilihan bagaimana tindakan tersebut direalisasikan. Rasionalitas yang dikemukakan oleh Max Weber lebih dibawa ke-arah suatu lembaga atau structural, meskipun selanjutnya rasionalitas yang dikembangkan Mead berdasar dari konsep Weber ini lebih di bawa ke-arah individu dan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan dari keseluruhan konsep serta hasil dari tokoh-tokoh tersebut George Herbert Mead dapat mengemukakan konsep tentang interaksionisme simbolik yang merupakan pengembangan dari konsep-konsep tersebut.
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, defenisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
a.       Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol dan makna sosial yang sama, dimana setiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
b.      Self  (diri pribadi) – kemampuan untuk merefleksikan diri setiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya.
c.       Society  (masyarakat) – hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh setiap individu ditengah masyarakat, dan setiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran ditengah masyarakatnya.
Mead mengamati bahwa bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dunianya sendiri. Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang bertindak sebagai I. Sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I  bersifat spontan, impulsive dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif  dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar jalan-jalan malam, sementara Me mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diri adalah sebuah proses yang mengintegrasikan I dan Me. Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.
Konsep diri menurut George Herbert Mead pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atau pertanyaan “siapa aku”. Konsep diri terdiri dari hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kesadaran diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari titik pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat George Herbert Mead tentang pikiran, menyatakan bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” didalam aku. Untuk itu dalam pikiran saya memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada saya.
Diri (Self) diartikan sebagai suatu konsep individu terhadap dirinya sendiri dan konsepsi orang lain terhadap dirinya. Konsep tentang “diri” dinyatakan bahwa individu adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam “diri” itu tidaklah semata-mata pada anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan defenisi-defenisi orang lain saja. Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang bertindak ditunjukan dengan konsep “I” dan diri sebagai objek ditunjuk dengan konsep “Me” dan Mead telah menyadari determinisme soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberat sebelahan dengan membedakan didalam “diri” antara dua unsur konstitutifis yang satu disebut “Me”atau “daku” yang lain “I” atau “Aku”. Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other. Teori George Herbert Mead tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu “I” (aku) dan “Me” (daku) itu sangat rumit untuk dipahami.
Mead berargumen bahwa interaksi mengambil didalam sebuah struktur sosial yang dinamis_budaya, masyarakat dan sebagainya. Individu-individu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefenisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi diciptakan dan dibentuk oleh individu.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi smbolik antara lain :
1.      Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari peoses komunikasi karena awalnya makna itu tidak ada. Artinya, sampai pada akhirnya dikonstruktif secara interpretif oleh individu melalui peoses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai barikut : manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, maka diciptakan dalam interaksi antar manusia, makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
2.      Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, berdasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya antara lain : individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : “the departicular kind off role thingking-imagine how welook to another person” or “hability to see our selfvest in the reflection off another glass”.
3.      Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema ini berfokus pada hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, Dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tetapi pada akhirnya tiap indivulah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah : orang dan kelompok-kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik. Dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua mahzab, dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu:
1.      Mahzab cicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer : Blumer memberikan pengembangan dalam pikiran-pikiran Mead menjadi 7 buah asumsi yang mempelopori pergerakan mahzab cicago baru.
Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, maka diciptakan dalam interaksi antar manusia, makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif, individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku, orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
2.      Mahzab jowa yang dipelopori oleh manford kuhn dan kingbal young
Mahzab jowa dipelipori oleh manford Kuhn dan mahasiswanya, dengan melalukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut ritual epistemoligi dan metodologi. Positif yang mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu menjelaskan konsep diri menjadi bentuk yang lebih konkrit.
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mead, Herber Blumer, Wilyam James, Charles Horton, Cooley. Teori simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi simbol. Manusia berinteraksi dengan orang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satunya diantaranya mengasumsikan adanya enam factor dalam komunikasi, yaitu: pengirim, penerima kode (sistem kode), pesan, saluran komunikasi dan saluran hal yang dibicarakan. Istilah semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan amerika. Tujuan utama semiotika media adalah mempelajari bagaimana media massa menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri, yaitu: apa yang dimaksud atau dipresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna digambarkan dan mengapa memiliki makna sebagaimana ia tampil.
Interaksi simbolik merupakan interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, berinteraksi satu sama lain diwujudkan dengan adanya suatu tindakan maupun perilaku. Tindakan tersebut sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang mendasari teori ini yaitu: Mind (pikiran) merupakan kemampuan untuk menggunakan simbol dan makna sosial yang sama, dimana setiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. Self  (diri pribadi) merupakan kemampuan untuk merefleksikan diri setiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Dan society  (masyarakat) merupakan hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh setiap individu ditengah masyarakat, dan setiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran ditengah masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan bahwa subjek atau diri yang bertindak sebagai I. Sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I  bersifat spontan, impulsive dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif  dan peka secara social.
2.3 Kerangka Pikir
Melihat simbol sebagai obyek sosial dalam suatu interaksi, maka digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, orang tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah obyek fisik (benda-benda), kata-kata (untuk mewakili obyek fisik, perasaan, ide-ide, dan makna), serta tindakan yang dilakukan untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain, Soeprapto (2001:34).
Pada dasarnya segala bentuk-bentuk ritual yang dilaksanakan oleh manusia adalah sebuah bentuk simbolisme, maksud dan makna ritual itulah yang menjadi tujuan manusia. Untuk memperingatinya dengan demikian, fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui makna simbolik ritual Kaghombo (Kaghombo) dalam kebudayaan suku Muna. Makna simbolik yang terdapat pada proses pelaksanaan adat Muna, bisa menjadi sebuah pedoman hidup dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat suku Muna.
Permasalahan makna simbolik dalam penelitian ini akan dibedah dengan teori interaksinal simbolik. Menurut George Herbert Mead (1863-19310), bahwa komunikasi manusia berlangsung melalui pertukaran simbol serta pemaknaan simbol-simbol. teori ini membahas tentang suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia yakni melakukan komunikasi atau pertukaran simbol baik secara verbal maupun non verbal yang diberi makna dalam proses interaksi simbolik yang terjadi diantara manusia satu dengan manusia lainnya. Lebih jelasnya kerangka pikir dapat dilihat pada skema berikut ini.












BAGAN KERANGKA PIKIR
Ritual Kaghombo sebagai Interaksi Simbolik dalam Masyarakat Suku Muna
Teori Interaksi Simbolik
George Herbert Mead (1863-1931)
Teori Semiotika
Charles Sanders Peirce (1939-1914)


Simbol Non Verbal
 






Simbol-sinbol Pada Tahap Pelaksanaan Ritual Kaghombo (Adat Muna)
-          Kafoluku (Pemasukan)
-          Kabhansule (Perubahan Posisi)
-          Kalempagi (Pembukaan)
-          Kafosampu (Pemindahan)
-          Katandano Wite (Penyentuhan Tanah)
-          Tari linda
-          Kaghorono bansa

Pergeseran  Ritual Kaghombo (Adat Muna)
-          Proses Terciptanya ritual kaghombo
-          Konteks Pertunjukkan
-          Pelaku Ritual Kaghombo
-          Kostum
-          Perlengkapan ritual kaghombo
-          Penonton

Makna Simbolik Ritual Kaghombo (Pingitan)
Adat Suku Muna

 














Sumber : Hasil Modifikasi Penulis
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1    Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Lagadi, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna dengan pertimbangan bahwa, di Desa ini masih melaksanakan Ritual Kaghombo, masih ada pomantoto dan masyarakat masih meyakini bahwa ritual kaghombo masih tetap berfungsi dalam kehidupan mereka, namun  tahapan pelaksanaannya tidak lagi menjadi sakral. Artinya, pelaksanaan ritual haghombo hanya dianggap sebagai aturan yang harus dilaksanakan oleh orang tua terhadap anaknya. Generasi muda yang sudah terpengaruh dengan kemajuan informasi dan teknologi serta perkembangan zaman, tidak lagi mengetahui nilai-nilai dalam ritual  kaghombo yang menjadi bagian dari siklus kehidupan masyarakat Muna.
3.2    Informan Penelitian
Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para tokoh adat/agama, tokoh masyarakat dan pomantoto. Dengan jumlah informan 6 (enam) orang yang di temukan secara sengaja (purposive sampling). Dengan pertimbangan dapat memberikan keterangan sehubungan dengan ritual kaghombo yang mengacu pada Spradley dalam Endraswara (2003:207) yang menjelaskan bahwa informan yang baik adalah mereka yang terlibat langsung dalam kebudayaan yang memiliki waktu dan wawancara.
Yang menjadi informan inti adalah orang yang mengetahui betul mengenai ritual kaghombo yang ada di Desa Lagadi yaitu, tokoh adat/agama (La Engko), tokoh masyarakat (Nurdin, Mutiara), pomantoto (Waode Musa). Sedangkan yang menjadi informan pokok adalah orang tua gadis yang dikaghombo yaitu Ibu Wa Ndoapa dengan Bapak La Ghanta.
3.3 Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Penentuan informan ini berdasarkan populasi yang sesuai dengan karakteristik penelitian yaitu dengan sengaja memilih informan yang dianggap kapabel dan mampu memberikan informasi yang sesuai dengan kajian penelitian.  
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian langsung dilapangan yaitu dengan memperoleh data dan informasi dari lokasi penelitian. Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis ada dua cara yaitu sebagai berikut:
1.      Pengamatan (Observation) yakni pengumpulan data dengan mengoreksi dan mencatat dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada pengamatan ini melihat secara langsung obyek dari penelitian. Adapun hal-hal yang di amati adalah gadis-gadis yang di Kaghombo, tamu yang secara langsung datang menyaksikan prosesi Kaghombo, pihak-pihak yang terlibat pada saat Kaghombo dilaksanakan, hal-hal yang di lakukan dalam setiap tahapan dalam ritual Kaghombo, benda-benda maupun bahan-bahan yang digunakan pada saat pelaksanaan Kaghombo.
2.      Wawancara yakni teknik pengumpulan data dengan mengadakan wawancara langsung dengan sejumlah informan yang mengetahui, orang tua dan gadis yang melaksanakan Kaghombo. Apakah dalam Kaghombo di Desa ini ada pembagian tahap disetiap pelaksanaan Kaghombo tersebut, bagaimana proses Kaghombo, mengapa masih dilaksanakan Kaghombo, apa saja bahan dan alat yang digunakan, apakah makna atau simbol ada perubahan dari setiap bahan dan alat yang digunakan,  manfaat yang akan diperoleh dari gadis yang telah di Kaghombo, makna apa saja yang terkandung dalam Kaghombo.
3.      Studi pustaka yakni dengan membaca dan mempelajari buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan masalah penelitian, guna memperoleh dasar teoritis yang akan digunakan dalam pembahasan sekaligus sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini.
4.       Dokumentasi yaitu peneliti mengumpulkan kegiatan penelitian untuk menggambarkan kegiatan yang dilakukan selama penelitian.
3.3    Teknik Analisis Data
Data yang di peroleh dari hasil pengamatan dan wawancara mendalam yang menyangkut Kaghombo, dengan menganalisis data secara sistematis dan intensif terhadap catatan lapangan, hasil wawancara dengan perbandingan yang konstan data yang terkumpul diberi kode lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik. Diantara ketiga macam pengkodean dari analisis, peneliti memilih salah satu dari pengkodean tersebut yaitu pengkodean terbuka.
Pengkodean terbuka merupakan analisis yang secara khusus mengenai penamaan dan pengkategorian fenomena melalui pengkajian secara teliti terhadap data kemudian data di kelompokan kedalam bagian-bagian terpisah, diselidiki secara cermat, dibandingkan persamaan dan perbedaannya diajukan pertanyaan tentang fenomena yang tercermin dalam data (Endraswara, 2003:17) adapun data yang dianalisa merupakan data tentang eksistensi dan perkembangan dari Kaghombo itu sendiri.














3.4  Desain Operasional Penelitian
Unit Analisis
Struktur Analisis
Teknik Pengumpulan data
1.      Simbol-simbol Komunikasi Pada Ritual Kaghombo

a.       Kafoluku (Pemasukan)

b.      Kabhansule (Perubahan Posisi)
c.       Kalempagi (Pembukaan)

d.      Kafosampu (Pemindahan)
e.       Katandano Wite (Penyentuhan Tanah)

f.       Tari Linda

g.      Kaghorono Bansa

2.      Pergeseran Ritual Kaghombo

a.       Kontes Pertunjukkan


b.      Pelaku Ritual Kaghombo


c.       Kostum


d.      Perlengkapan Ritual Kaghombo


e.       Penonton
Menganalisis secara deskriptif  mengenai simbol-simbol ritual kaghombo
a.       Menganalisis pengertian kafoluku
b.      Menganalisis pengertian kabhansule
c.       Menganalisis pengertian kalempagi
d.      Menganalisis pengertian kafosampu
e.       Menganalisis pengertian katandano wite
f.       Menganalisis pengertian tari linda
g.      Menganalisis pengertian kaghorono bansa

Menganalisis secara deskriptif  mengenai pergeseran ritual kaghombo
a.       Menganalisis secara deskriptif  tentang konteks pertunjukkan
b.      Menganalisis secara deskriptif  tentang pelaku ritual kaghombo
c.       Menganalisis secara deskriptif  tentang kostum
d.      Menganalisis secara deskriptif  tentang perlengkapan ritual kaghombo
e.       Menganalisis secara deskriptif  tentang penonton
Observasi dan Wawancara

















Observasi dan Wawancara























BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Hasil
4.1.1    Gambaran Umum Desa Lagadi
Desa lagadi merupakan salah satu desa yang berada pada wilayah kecamatan Lawa. Desa Lagadi di bentuk pada tahun 1998 sebagai hasil pemekaran dari Desa Sawerigadi. Pemekaran yang dilakukan pada tahun 1998 tersebut dilakukan untuk meningkatkan efektifitas kerja wilayah pedesaan dalam proyek inpres desa tertinggal. Desa ini dipimpin oleh masyarakat pilihan yang mendapat persetujuan dari kepala kecamatan Lawa.
Adapun pejabat Desa sejak berdirinya Desa Lagadi adalah :
1.  Laode Alimuddin                                         Tahun 1998 - 2013
            2.  Laode Buldinal Muslim, S.sos                   Tahun 2013 - Sekarang          
Kepemimpinan yang berlangsung sejak tahun 1999 hingga tahun sekarang telah memberikan kontribusi bagi pembangunan Desa Lagadi dalam berbagai aspek seperti pembangunan gedung sekolah, gedung puskesmas, dan kantor Desa (Balai Pertemuan Desa).
a.      Letak, Luas Wilayah dan Keadaan Geografis
Desa Lagadi merupakan salah satu Desa di Kecamatan Lawa yang baru saja di mekarkan dari Desa Sawerigadi tahun 1998 yang lalu. Desa ini terletak ±  23 KM dari ibu kota Raha.
Adapun batas-batas atau letak wilayah Desa Lagadi setelah pemekaran, yakni :
1.      Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sawerigadi.
2.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Madampi
3.      Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kontunaga
4.      Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Latugho
Luas wilayah Desa Lagadi sebelum pemekaran adalah kurang lebih 1.498,4 Hektar. Dari luas wilayah tersebut secara tata guna tanah Desa Lagadi terbagi atas jalan, bangunan umum, pemukiman, perkuburan, perkantoran, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya dari masing-masing pemanfaatan wilayah Desa Lagadi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Luas wilayah Desa Lagadi berdasarkan pemanfaatannya:
No
Luas wilayah
Ha
Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pemukiman penduduk
Perkebunan
Perkantoran
Perkuburan
Hutan
Sekolah
Lain-lain
73
280
0,10
3,0
20
3
-
20,6
79,3
0,03
20
5,66
0,84


Jumlah
353,18
100
Sumber : Kantor Desa Lagadi  2014
Tabel diatas menunjukan bahwa desa lagadi memiliki lahan yang harus diolah untuk pengembangan sector pertanian, namun tenanga kerja dan kapabilitas sumber daya manusia belum dimanfaatkan secara optimal, dalam hal ini baru 56,4 Ha yang terolah untuk kebutuhan masyarakat, antara lain untuk pemukiman seluas 73 Ha atau 20,6%, perkebunan 280 Ha atau 79,3%, perkantoran 0,10 Ha atau 0,03%, perkuburan 3,0 Ha atau 20%, hutan 20 Ha atau 5,66%, sekolah 3 Ha atau 0,84%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Desa Lagadi masih terdapat lahan-lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian dan batuan digunakan sebagai bahan masukan Desa Lagadi.
b.      Keadaan Penduduk Desa Lagadi
Penduduk merupakan faktor potensial dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan. Jumlah penduduk sangat mempengaruhi kemampuan aparat dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam memberikan pelayanan kepentingan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Penduduk Desa lagadi sebelumnya dimekarkan 1.984 jiwa dan setelah pemekaran jumlah penduduk otomatis berkurang dalam artian sebagian penduduk masuk dalam wilayah Desa Sawerigadi, adapun jumlah penduduk di Desa Lagadi 895 jiwa dengan 197 kepala keluarga. Keadaan penduduk Desa Lagadi dapat digambarkan pada tabel berikut :



Tabel 3. Jumlah penduduk Desa Lagadi berdasarkan umur dan jenis kelamin
Kelompok Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
Total Penduduk (Jiwa)
Persentase (%)
Laki-laki
Perempuan
00-04
05-09
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60 keatas
25
44
23
50
42
53
50
51
48
15
26
12
3
37
41
29
50
47
41
50
50
54
19
17
21
3
62
85
52
100
86
94
100
111
102
34
43
33
6
6,4
8,7
5,3
11,17
9,1
10,50
11,17
12,40
10,5
3,5
4,4
3,4
0,63
Jumlah
442
453
895
100
Sumber : Kantor Desa Lagadi 2014
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 442 orang, sedangkan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 495 orang.

c.       Mata Pencaharian Penduduk Desa Lagadi
Berdasarkan hasil observasi dan dokumentasi pihak Desa, sebagian besar penduduk Desa Lagadi bermata pencaharian sebagai petani dan selebihnya PNS, pensiunan dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. keadaan mata pencaharian penduduk Desa Lagadi
No
Mata Pencaharian
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
Petani
PNS
Pensiunan
Pedagang
183
10
3
20
70.93
4.62
1.38
9.25

Jumlah
216
100
       Sumber : Kantor Desa Lagadi 2014
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Lagadi bermata pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 183 jiwa atau 70,93 %, PNS sebanyak 10 jiwa atau 4,63 %, pensiunan sebanyak 3 jiwa atau 1,38 %, pedagang 20 jiwa atau 9,25 %.
Jumlah penduduk yang memiliki mata penacaharian tersebut sebanyak 216 jiwa atau 24,13 %, tergolong dalam penduduk usia produktif, sedangkan selebihnya yaitu 679 jiwa atau 75,86 %.tidak memiliki pekerjaan, mereka ini adalah umumnya penduduk yang masih usia sekolah dan ibu rumah tangga.

d.      Bidang Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembangunan. Keberhasilan proses pembangunan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar partisipasinya karena semakin besar pengetahuan tentang suatu kewajiban bagi kepentingan sebuah pembangunan. Tingkat pendidikan masyarakat Desa lagadi manunjukkan tingkat kemajuan masyarakat dipengaruhi oleh kemampuan pola pikir atau pengetahuan masyarakat untuk mengelola apa yang disekelilingnya. Sehubungan dengan tingkat pendidikan masyarakat Desa Lagadi maka dapat dipilah pada tabel berikut :
Tabel 5. Keadaan tingkat pendidikan penduduk Desa Lagadi
No
Pendidikan
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Belum sekolah
Sementara sekolah
Buta aksara
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Sarjana
Sarjana muda/Diploma 
147
182
92
125
56
84
80
37
16
15,09
18,67
10,27
12,84
6,3
9.39
8,93
3,8
1,79

Jumlah
819
100
       Sumber : Kantor Desa Lagadi 2014
Berdasarkan table bidang pendidikan di atas bahwa sarana pendidikan yang ada di Desa ini hanya 1 unit Sekolah Dasar (SD) dan 1 unit Sekolah Menengah Pertama (SMP), dengan jumlah guru SD 9 orang dan guru SMP sebanyak 10 orang. Masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih  tinggi harus menuju ke Desa lain ( terutama kelurahan Wamelai) dan pada umumnya di tempuh dengan angkutan umum.
Adapun penduduk yang tidak/belum menikamati pendidikan formal seperti yang dikemukakan serta kejar usaha sehingga sebagian besar diantaranya telah dapat membaca huruf latin dan angka serta berbahasa Indonesia.
e.       Bidang Agama dan Adat Istiadat
Seluruh penduduk yang ada di Desa Lagadi beragama Islam. Adapun sarana yang dimiliki dalam rangka pelaksanaan ibadah bagi umat islam adalah 1 buah masjid. Di samping itu dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat terhadap ajaran islam dan pemberantasan buta baca Al-Qur’an, maka penduduk aktif mengadakan pengajian melalui taman pengajian Al-Qur’an (TPA) yang ada di Desa ini.
Dalam hal adat-istiadat, nampaknya masyarakat di Desa Lagadi cenderung memegang  musyawarah yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia masih tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat Desa Lagadi. Dari segi etnis, penduduk Desa Lagadi terdiri dari etnis Muna yang merupakan etnis mayoritas yaitu sebanyak 895 jiwa.
f.       Sarana Kesehatan dan Sarana Umum
Kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan suatu bangsa dalam upaya membangun masyarakat sehat dan sejahtera. Untuk membangun masyarakat yang sehat dan sejahtera perlu didukung sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Kondisi kesehatan masyarakat Desa Lagadi semakin membaik dari waktu ke waktu, hal ini karena dimungkinkan karena adanya dukungan sebagai sarana dan fasilitas yang selalu siap memberikan pelayanan terhadap masyarakat terutama posyandu. Disamping itu, kesadaran masyarakat dalam berprilaku sehat yang merupakan pendukung dalam perbaikan kondisi kesehatan masyarakat Desa ini.
g.      Kondisi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat keamanan bahwa kondisi keamanan dan ketertiban di Desa ini cukup baik dan terkendali. Hal ini terwujud karena ditunjang oleh beberapa faktor antara lain yaitu adanya perangkat pertahanan sipil (HANSIP) sebanyak 6 orang yang dilengkapi dengan pos kamling sebanyak 2 bauh. Disamping itu, yang paling penting adalah adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan ketertiban sebagai tugas bersama. Hal ini terbukti dengan keberhasilan pelaksanaan pengembangan, sebab pada prinsipnya tampak kondisi yang aman dan kondusif dalam masyarakat, maka pembangunan berjalan dengan baik.


h.      Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Lagadi
Struktur organisasi adalah gambaran yang menunjukan hubungan tugas/pekerjaan dalam organisasi dan mengatur batas wewenang dan tanggung jawab dalam setiap lembaga dan instansi.
Berdasarka undang-undang no. tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, maka keluarlah keputusan Menteri dalam Negeri no. 18 tahun 2000 yang menerapkan susunan organisasi pemerintahan kelurahan sebagai berikut:
-          Kepala Desa
-          Sekretaris Desa
-          Kaur Desa (Perangkat Desa)
-          Badan Pemerintah Daerah
Sesuai dengan struktur organisasi tersebut, maka kedudukan, tugas, dan fungsinya sebagai berikut :
1.      Kepala Desa
-          Kedudukan
Kepala Desa adalah alat pemerintah yang berada dibawah Camat dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Bupati kepala daerah tingkat II melalui Camat.
-          Tugas
Kepala Desa mempunyai tugas sebagai penyelenggara dan penangung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan pemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintah daerah, urusan pemerintah umum termasuk pembinaan dan ketertiban.
-          Fungsi
Kepala Desa mempunyai fungsi sebagi berikut :
a.       Menyelenggarakan partisipasi masyarakat
b.      Melaksanakan tugas dan perintah atasannya
c.       Melaksanakan kordinasi terhadap jalannya pemerintahan desa
d.      Melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawab dibidang pembangunan
e.       Melaksanakan tugas-tugas dalam rangka pembinaan dan ketertiban
2.      Sekretaris Desa
-          Tugas
Sekretaris Desa mempunyai tugas menyelenggarakan pembinaan administrasi pemerintahan desa dan memberikan pelayanan staf kepada Desa.
-          Fungsi
Sekretaris Desa mempunyai fungsi sebagai berikut :
a.       Melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan, membuat program dan laporan
b.      Memimpin dan mengawasi semua kegiatan-kegiatan, kepala-kepala urusan, menyiapkan rapat, menyusun rencana keuangan.


3.      Kaur Desa (Perangkat Desa)
a.       Kepala seksi pemerintahan, mempunyai tugas melaksanakan administrasi penduduk dan pelayanan masyarakat.
b.      Kepala seksi pembangunan, mempunyai tugas melaksanankan administrasi pembangunan, pencatatan hasil swadaya masyarakat.
c.       Kepala seksi keuangan, mempunyai tugas melaksanakan administrasi keuangan.
d.      Kepala seksi umum, mempunyai tugas menerima dan mengedarkan surat-surat masuk dan keluar serta melaksanakan tata usaha kearsipan, pengetikan surat menyurat.
4.      Badan Pemerintah Daerah
Badan pemerintah daerah, mempunyai tugas menjalankan kegiatan-kegiatan kepala desa sesuai dengan wilayah kerjanya dan kedudukannya sebagai unsur pelaksanaan tugas kepala desa dalam wilayah kerjanya antara lain :
a.       Melaksanakan kegiatan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman dan ketertiban wilayahnya.
b.      Melaksanakan keputusan desa diwilayah kerjanya
c.       Melaksanakan segala kebijakan kepala desa.




4.1.2        Simbol-simbol Komunikasi Pada Tahap Pelaksanaan Ritual Kaghombo
Pelaksanaan kegiatan inti upacara  kaghombo  terletak pada proses penempaan para gadis/perempuan untuk melewati empat alam seperti yang sebutkan sebelumnya yakni alam arwah, alam misal, alam aj‟sam dan alam insane Proses pemindahan dari satu alam ke alam yang lain hingga manusia dilahirkan bagai kertas putih polos dan suci, dapat digambarkan dari tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
4.1.2.1 Kafoluku
Kafoluku  adalah proses dimasukkannya para perempuan yang akan menjalani upacara  kaghombo dalam tempat yang telah dibuat secara khusus. Tempat tersebut dikenal oleh masyarakat Muna dengan sebutan  songi. Hal ini mengandaikan anak manusia kembali ke alam arwah yang gelap gulita. Sebelum dimasukkan terlebih dahulu dimandikan dengan dua jenis air yang telah didoakan oleh imam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Pembacaan doa oe modaino yang dilakukan oleh pomantoto (imam perempuan). (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 04 agustus 2014)
Adapun doa yang dibaca pada saat dibuat oe kakadiu balano khususnya oe modaino dan oe metaano. Doa atau bhatata yang di ucapkan untuk oe modaino adalah sebagai berikut:
“A wa laisal ladzi khalqas samaawatiwal ardha biqaadirin a laa ay yakhluqa mitslahum, balaa,  wahuwal khallaaqul‟alim, innamaa amruhuu idzaa araada syai-an, ay yaquula lahuu kun fayakun, fa subhaanal ladzi bi yadihii, malakuutu kulli syai-iw wa ilaihi turjau‟un.”
Artinya : “Dan bukankah Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi berkuasa menciptkan serupa dengan itu? Benar, dia pencipta lagi maha mengetahui, sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu. Dia berkat kepadanya jadilah maka jadilah ini. Maka maha suci di tangannya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepadanya lah kamu dikembalikan”. (hasil wawancara dengan Waode Musa, 60 tahum pada hari Senin, 04 Agustus  2014).
Kedua jenis air yang dibacakan oleh pomantato (imam perempuan) memiliki arti tersendiri bagi  kalambe wuna  yang akan dimandikan.  Oe modaino  merupakan  air yang telah didoakan dengan pomantoto untuk  menolak  bala  (segala kejahatan) yang tidak menutup kemungkinan akan menimpa para perempuan yang dikaghombo. Saat dimandikan pomantoto dan para perempuan menghadap  kansoopa (sebelah barat) dan menepuk air yang dituangkan oleh pomantoto dengan menggunakan tangan kiri sebanyak tiga kali.  Sedangkan oe metaano  adalah air yang telah dibacakan doa oleh imam yang bertujuan permohonan kepada Tuhan agar mendapat ridho dari Yang Maha Kuasa. Air kedua ini harus disisakan dalam termos yang kemudian dimasukkan cincin. Air yang disisakan di dalam termos harus dighombo atau diperam selama dua malam bersama para perempuan untuk dipakai pada saat  kafolego. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2: Kakadiu (proses pemandian sebelum acara kafoluku). (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 04 Agustus 2014)

Dari gambar di atas tampak pomantoto (imam perempuan) menyiramkan oe metaano dengan menepuk air sebanyak tiga kali. Cara memandikannya hampir sama dengan  oe modaino dan oe metaano, lebe atau pomantoto memerintahkan untuk menghadap ke sebelah timur dan barat. Bunyi perintahnya seperti ini. “doliimu te mata gholeo” darumambiaene kema tolu paku oe so meeno neghulunto ini” dan sebaliknya saat menghadap sebelah kanan, bunyi perintahnya “aitu, da dumoli ane we kansoopa” pedatora aniini, darumambiaene suana tolu paku oe kakadiu neghulunto ini”.
Proses kafoluku juga ditandai dengan pembacaan doa haroa yang dipimpin oleh imam. Ritual ini dilakukan sebagai bekal para perempuan dalam songi yang masing-masing diberi makan sesuai dengan takaran yang telah ditentukan oleh pomantoto. Pomantoto   memberi masing-masing satu buah ketupat dan satu biji telur rebus yang sudah dibacakan doa.
Gambar 3. Kabasano haroa  dilakukan setelah proses  kakadiu.  (Sumber:Dok Ismul azam, di desa Lagadi, Tanggal 04 Agustus 2014)

Gambar 4. Tampak  kalambe wuna  yang akan dikaghombo  diberikan makan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.  (Sumber: Dok. Ismul azam di desa Lagadi. Tanggal 04 Agustus  2014)


Adapun mantra (bhatata) yang dibaca pada saat pemberian makan
(kakunsi) adalah sebagai berikut:
“Alhamdulilaahi rabbilaalamiin, arrahmaanir rahiim, malalikiyaumiddiin, iyyakaana‟budu wa iyyaakanasta‟iin, ihdinnash shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an‟amta alaihim ghairil maghdhuubi‟alaihim wa ladhdhaalliin a kunsi barakunsi kunsi alam, kunsi barakati, bismillah. Allahumma saydinna muhammad wa alaali saydinna Muhammad”.
Artinya : “Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha pemurah lagi maha penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkau lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau lah kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan yang Engkau murkai dan bukan pula jalan yang mereka sesat. a kunsi barakunsi kunsi alam, kunsi barakati, bismillah. Allahumma saydinna muhammad wa alaali saydinna Muhammad”.
Setelah pemberian makan, para perempuan berwudhu dan memohon maaf kepada orang tua agar semua proses dapat dilewati dengan baik. Perempuan yang dikaghombo  memasuki  songi  dengan mengikuti tuntunan dari  pomantoto  dengan memutar ke kanan sebanyak tiga kali di depan pintu  kaeghomboha. Di dalam kaeghomboha perlengkapan seperti bhansano ghai, bhansano bea, dan  ghai  dijadikan sebagai alas kepala waktu tidur. Kemudian kelengkapan lainnya juga dimasukkan ke dalam  songi,  seperti janur, padhamara, ponda, polulu, kahitela, kapas, benang, bhale (anyaman daun kelapa),  dan  kain putih. Para perempuan tidur dengan kepala menghadap sebelah barat dengan menindis badan sebelah kanan.
Dalam proses kaghombo, pomantoto memberitahukan makna ritual kaghombo bagi mereka. Makna ini harus dipahami oleh kalambe wuna yang memiliki status sebagai wanita terhormat di lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Proses kaghombo  dilaksanakan selama 4 hari 4 malam dengan aktivitas yang terbatas. Mereka hanya diperbolehkan makan pagi dan sore sesuai dengan takaran yang telah ditentukan. Para perempuan yang dikaghombo tidak boleh membuang hajat besar dan tidak diperkenankan untuk berdiri, bercerita ataupun hal lainnya yang bertentangan dengan ketentuan adat kaghombo. Pada malam ketiga atau lebih dikenal dengan alono kamboto  (malam bergadang) dilakukan pembacaan haroa kamboto bagi keluarga yang ikut pada malam ketiga. Kemudian imam membaca doa haroa kaalano patirangka  dan  pogalano. Kaalano patirangka  diiringi dengan takbir yang dilakukan oleh imam secara bersahut-sahutan, lalu tari pogala  juga dilakukan untuk mengiringi  kaalano patirangka  yang berjalan dengan berlenggak-lenggok. Masyarakat Muna mengenalnya dengan sebutan kafolego.
Tari  pogala  diiringi dengan pemukulan gendang yang teratur agar tidak ada yang terluka. Tarian ini terus dimainkan sampai  kaalano patirangka  selesai, yang kemudian disusul dengan imam bertakbir. Penunggu  patirangka  telah bersedia menerima dan mengambil, diawali dengan berputar ke kanan sebanyak tiga kali lalu memutar ke kiri juga sebanyak tiga kali.  Patirangka  tersebut dimasukkan ke dalam  songi  oleh  pomantoto  untuk disimpan bersama para perempuan. Setelah proses kaalano patirangka, maka dimulailah alono kamboto. Ritual ini dilakukan seorang pembantu pomantoto dengan menari linda kemudian diakhir tariannya ia akan menyanyi  sare,  sambil berjalan memukul gong dan gendang dengan selendang tariannya. Tarian ini berlanjut karena penari pertama membuang selendangnya pada orang lain yang menyaksikan tarian tersebut dan wajib melakukan hal yang sama. Proses ini berjalan sampai fajar mulai tampak.
4.1.2.2  Kabansule (Perubahan Posisi)
Proses  kabansule  yaitu proses perubahan posisi para perempuan yang dikaghombo. Awalnya posisi kepala sebelah barat dengan berbaring miring ke kanan selanjutnya posisinya dibalik yaitu kepala ke arah timur dan kedua tangan di bawah kepala menindis bagian kiri. Perpindahan ini dimaksudkan sebagai perpindahan dari alam arwah ke alam aj‟san. Hal ini diibaratkan seperti posisi bayi yang berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah arah atau posisi. Pada tahapan ini,  pomantoto  mengambil air  kaghombo  yang telah disiapkan sebelumnya.
Proses pengambilan air dilakukan oleh dua pasang remaja yang telah mengikuti acara pembacaan doa sebelumnya. Dua pasang remaja ini diberi makan dengan cara saling bersuapan yang menggambarkan kehidupan dua pasang suami-istri yang siap mengawali kehidupan berumah tangga. Kemudian acara dilanjutkan dengan  porenso  yakni isyarat makan sirih atau merokok. Dalam masyarakat Muna setelah selesai makan selalu diikuti dengan makan sirih atau merokok.
Proses ini sebagai tanda para perempuan kaghombo melewati pembentukan diri di alam “misal” untuk dipersiapkan pada perpindahan ke alam aj‟san. Mengawali proses itu kegiatan yang dilakukan oleh perempuan yaitu:
a)      Perempuan yang dikaghombo dikelilingkan lampu  padjamara dan cermin, pada bagian kiri dan kanan tubuh. Hal ini sebagai tanda agar kelak mendapatkan kehidupan yang terang benderang dan cermin sebagai simbol kesungguhan, keseriusan dalam menghadapi tantangan kehidupan di masa mendatang. Orang tua memberikan ungkapan yang selalu diingatkan setiap proses ini berlangsung. Ungkapan tersebut yaitu:
Ana…
Kadekiho polambu,
ane paeho omandehao kofatowalahae ghabu
artinya
ana…
jangan engkau kawin
sebelum engkau memahami empat penjuru/sisi dapur
b)      Proses selanjutnya perebutan ketupat dan telur yang diambil dari belakang masing-masing perempuan yang dikaghombo. Jumlah pengambilan tersebut tidak dibatasi. Ini merupakan gambaran masa depan anak perempuan, artinya semakin banyak merebut ketupat atau telur maka semakin cerah masa depannya. Proses ini dilakukan pada malam terakhir kaghombo.
4.1.2.3.  Kalempangi (Pembukaan)
Kalempangi  diawali dengan proses  kabhalengka  yaitu proses membuka pintu kaghombo (kaghombo). Pada tahapan ini proses perpindahan dari alam aj‟san ke alam insani. Alam ini adalah isyarat seorang bayi baru lahir dari kandungan ibunya. Setelah dimandikan maka mereka dirapikan rambut dan keningnya, atau disebut dengan proses kabhindu. Kabhindu merupakan proses pencukuran rambut di sekitar wajah khususnya dahi dan alis yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam tahapan ini. Semua bulu rambut dan kening disimpan di atas piring yang berisikan beras dan telur. Pembersihan ini menggunakan silet sebagai alat utama dalam  kabhindu. Proses pembersihan ini ada kalanya mendapat halangan yakni rambut dan kening tidak dapat dicukur. Kejadian ini memberikan isyarat pada orang tua anak perempuan untuk berjanji pada anaknya. Istilah dalam bahasa daerahnya yakni nofobheae.  Janji yang berikan orang tua berupa ungkapan yang dalam bahasa Muna “  hundamo madaho aegholiangko singkarumu”  artinya relakanlah anakku, nanti ibu belikan cincinmu. Dan akhirnya rambut anak tersebut dapat dibersihkan. Gambar proses kabhindu dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 4: Kabhindu. Tampak seorang Ibu yang telah ahli melakukan kabhindu  (pencukuran bulu-bulu halus di wajah) menggunakan silet. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 08 Agustus 2014)

Setelah tahapan ini dilakukan, perempuan yang dikaghombo  telah siap untuk dirias dengan model pakaian  kaghombo  yang telah ditentukan. Masyarakat mengenal dengan sebutan  kalempangi yang berarti pelampauan atau melewati sebagai proses peralihan dari remaja ke usia dewasa. Oleh karena itu, menurut ritual masyarakat Muna bahwa yang dikaghombo  harus usia remaja menjelang dewasa. Proses pelampauan lainnya ditandai dengan model pakaian yang dikenakan oleh perempuan, berbeda dengan anak-anak sebelum memasuki usia dewasa. Pakaian yang digunakan yaitu pakaian kalambe wuna dari golongan kaoumu dan walaka. Pelapisan sosial masyarakat Muna juga dapat dilihat dari pakaian perempuan yang dikaghombo.  Pakaian adat masyarakat Muna agar lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar berikut:
Gambar 5: Tampak dua  kalambe wuna  yang telah lengkap menggunakan pakaian adat khas masyarakat Muna.  (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 08 November 2014)

4.1.2.4.  Kafosampu (Pemindahan)
Pada hari ke empat menjelang magrib para perempuan yang dipingit siap di keluarkan dari rumah ke tempat tertentu yang disebut  bhawono koruma (panggung). Pada saat meninggalkan rumah, perempuan tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah. Proses ini biasanya dilakukan dengan membentangkan kain putih dari rumah hingga sampai panggung. Perempuan juga bisa dipikul atau dipapa oleh 2 orang laki-laki yang berasal dari lingkaran keluarga kedua orang tuanya masih hidup.
Proses ini tidak memperbolehkan para perempuan kaghombo untuk membuka mata sebagai isyarat kekhusyuan. Mereka duduk bersimpuh di hadapan para gadis lain yang telah ditugaskan sebagai penjaga dan pemegang  sultaru. Isyarat untuk tidak membuka mata sebagai tanda bahwa mereka bagaikan bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya. Pembukaan mata dilakukan setelah imam membaca doa dengan harapan mereka telah siap untuk menghadapi dan menjalani kehidupan di dunia yang penuh dengan tantangan. Doa tersebut berbentuk permohonan kepada Tuhan yang maha esa agar dapat diberikan keimanan yang kuat dalam menjalani kehidupannya. Untuk lebih jelasnya gambar  sultaru (semacam pohon terang yang terbuat dari kertas warna-warni dan dipuncaknya dipasangkan lilin yang menyala) dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 6:  Sultaru.  Tampak gadis-gadis yang akan mendampingi kalambe wuna beserta sultaru sebagai tanda penerang kehidupan yang akan datang.  (Sumber: Dok. Ismul azam. Di Desa Lagadi. Tanggal 08 Agustus 2014)

4.1.2.5. Katandano Wite (Penyentuhan Tanah)
Katandano wite  merupakan proses penyentuhan tanah pada perempuan yang dikaghombo  yang mengisyaratkan sebagai proses pemindahan alam, dari alam misal ke alam insani. Proses ini dilakukan oleh imam, diawali dari perempuan yang berada di sebelah kanan. Tanah tersebut disimpan dalam piring yang dibungkus kain putih yang disentuhkan pada ubun-ubun, dahi, dan selanjutnya seluruh persendian hingga dengan telapak kaki. Proses katandano wite mempunyai etika sebagai berikut:
a.       Sentuhan yang dilakukan oleh imam dari ubun-ubun turun ke dahi dengan menggambarkan huruf alif. Huruf alif merupakan rahasia Tuhan yang tersimpul pada manusia. Penukaghombo huruf alif ini sebagai isyarat bahwa mereka telah diisi secara sempurna terutama yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan pengenalan diri secara utuh. Huruf alif dalam Al-Quran memiliki kriteria tersendiri yang tidak dapat disambungkan dengan huruf lain dan biasanya mematikan huruf-huruf lainnya.  Oleh karena itu, proses ini digambarkan dengan huruf alif yang menjadi simpul dari ungkapan: “rahasia Tuhan ada pada manusia, rahasia manusia ada pada Tuhan, rahasia laki-laki ada pada perempuan dan rahasia perempuan ada pada laki-laki” (wawancara dengan La Engko, 67 tahun pada hari Jumat 08 Agustus 2014). Adapun proses  katandano wite  dapat dilihat dari dua gambar berikut

Gambar 7: Proses penyentuhan tanah yang dimulai dari ubun-ubun hingga mata kaki. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 08 Agustus 2014)


Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa ketika proses ini dilakukan, maka semua rahasia yang ada pada diri manusia ditentukan oleh yang maha kuasa. Rahasia keluarga dan rumah tangga dititipkan amanah pada perempuan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu huruf alif juga memberi isyarat bahwa yang lebih penting dalam hidup ini adalah mengenali diri, karena bila mampu mengenali diri juga sudah mengenal tuhannya. Proses ini dilanjutkan pada bagian lainnya sebanyak 17 titik pada tubuh manusia yang dimulai dari dahi sampai pada telapak kaki yang merupakan isyarat 17 rakaat shalat bagi umat Islam.
b.    Kabhasano dhoa (pembacaan doa)
Pembacaan doa dilakukan sebagai tanda syukur bahwa segala proses kaghombo telah berjalan dengan baik dan mendoakan agar semua dapat menjalani kehidupan di muka bumi penuh berkah dan tanggung jawab. Adapun proses kabhasano dhoa dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 8: Proses kabhasano dhoa bagi kalambe wuna. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi, Tanggal 08 Agustus 2014)

4.1.2.6. Tari Linda
Tari  linda merupakan tarian  kalambe wuna yang memperlihatkan secara halus bahwa seorang perempuan telah dewasa dan siap berumah tangga. Namun tari linda pada proses kaghombo berbeda dengan tarian yang biasanya dibawakan kalambe wuna  pada acara-acara penyambutan tamu. Tari  linda  yang dilakukan hanya memutar dan bergerak di seputar tempatnya saja. Masyarakat Muna mengenalnya dengan sebutan  linda setangke kulubea.  Tarian ini menjadi rangkaian dari pelaksanaan  tutura kaghombo  karena merupakan simbol dari tari kelahiran kembali dan sebagai tari kemenangan dari setiap proses yang dilewati. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 9: Tari Linda yang diperagakan salah seorang kalambe wuna yang dikaghombo. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi, Tanggal 08 Agustus 2014)

Berdasarkan uraian di atas bahwa tari linda juga dijadikan sebagai tari penyambutan tamu di Kabupaten Muna. Uniknya tari linda ini, biasa dilakukan di tengah-tengah lingkaran pertunjukan-pertunjukan seni beladiri  balaba  (sejenis silat). Tari linda berasal dari bahasa daerah Muna yang berarti menari berkeliling, laksana burung yang terbang, berkeliling dengan sayap yang terkembang indah. Tarian ini telah lama berkembang di tengah-tengah masyarakat Muna sebagai tarian rakyat. Tari  linda  telah ada di kabupaten Muna sekitar abad ke-16, yakni  di masa pemerintahan raja Laposasu (kobang kuduno) (wawancara dengan La Nurdin 57 tahun pada Sabtu 09 Agustus 2014).
Pemaknaan tari linda yang dipertunjukkan oleh peserta kaghombo dapat dimaknai dalam beberapa aspek yaitu;
1.         Dari aspek estetika bahwa perempuan harus mampu manunjukkan kemampuan yang sesuai, yang indah dan berseni sebagai lambang keempuan wanita yang menggambarkan jiwanya yang halus.
2.         Dari aspek kejuangan bahwa perempuan yang dikaghombo telah mampu melampaui perjuangan melawan hawa nafsu dalam songi, sehingga sebagai simbol kegembiraan maka ia melakonkan suatu tarian yaitu tari linda. Tampilan peserta dalam mempertunjukan tari tersebut merupakan lambang bahwa dirinya menang dan siap menjalani seluk beluk kehidupan dunia yang penuh tantangan.
3.         Dari aspek pembentukkan keluarga bahwa dalam pertunjukan tari linda yang dilakoni oleh peserta kaghombo biasa terjadi sebagai langkah awal perkenalan antara laki-laki dengan perempuan untuk kemudian saling jatuh cinta dipertalikan dengan kagholuno samba (gulungan selendang sutra).
4.1.2.7 Kaghorono bhansa
Dalam proses ritual kaghombo pada masyarakat Muna dikenal istilah  kaghorono bhansa atau kafolantono bhansa sebagai tahap akhir dari rangkaian acara. Biasanya tahapan ini dilakukan pada hari berikutnya atau dapat dilakukan pada hari lain. Pembuangan mayang diikuti oleh keluarga, imam, pomantoto, para perempuan yang dikaghombo, dan masyarakat lainnya yang ingin menyaksikan proses tersebut. Iringan menuju sungai diikuti dengan alunan ganda yang dimainkan sepanjang jalan sehingga menarik perhatian orang lain.
Pembuangan ini menandakan bahwa segala etika buruk yang melekat pada perempuan yang dikaghombo akan pergi bersama mayang pinang.  Posisi mayang yang dibuang dengan cara diapungkan di sungai. Pembuangan ini juga menandakan jodoh, nasib, dan takdir perempuan tersebut. Misalnya, pada saat dilakukan kaghorono bhansa,  kondisi mayang berbeda-beda, ada yang tenggelam, ada yang terapung, ada yang melayang dan ada juga yang hanyut dibawa air.
4.2  Pergeseran Ritual Kaghombo
Telah dikatakan sebelumnya bahwa ada unsur-unsur ritual ini yang tetap bertahan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman sebagian tahapan dalam pelaksanaan ritual  kaghombo  tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat yang sebenarnya. Senada dengan itu Waode Faaliha mengatakan proses tahapan pelaksanaan ritual  kaghombo  saat ini mengalami pergeseran nilai dan fungsi, sebagai  pomantoto merasakan banyak hal yang berbeda pelaksanaan ritual ini. Kutipan wawancaranya, “…ada banyak yang berbeda dalam tahapan pelaksanaan dan perlengkapan yang digunakan dalam ritual ini. Waktu saya dikaghombo, semua tahapannya dilaksanakan dan perlengkapannya pun tidak dikurangi atau dihilangkan. Sekarang ini tombula untuk pengambilan air, bhosu (termos) untuk menyimpanan air, kamba wuna, padjamara sudah hampir tidak digunakan. Begitupula dengan tahapan pelaksanaan. Misalnya malam ketiga alono kamboto (malam begadang) tidak ada lagi yang namanya kafolego, tari pogala, pengambilan patirangka dan nyanyian sare. Semua tahapan ini sebagian besar ketika saya jadi pomantoto tidak dilaksanakan oleh masyarakat pendukung ritual ini…”(wawancara  pada senin, 11 Agustus 2014).
Pada tahapan kafoluku (proses selama dalam tempat kaghombo), kabhansule (perubahan posisi) dan tari  linda, tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati secara turun-temurun. Hal ini didapatkan penulis, ketika menyaksikan dan ikut dalam proses pelaksanaan ritual ini. Pada tahap  kafoluku yang seharusnya pada malam ke tiga atau lebih dikenal dengan  alono kamboto (malam bergadang) diisi dengan kegiatan pembacaan doa, pengambilan patirangka  (imam membaca takbir), tari  pogala  dan tari  linda   yang diringi nyanyian  sare  yang dilakukan masyarakat di luar tempat pemingitan. Kenyataanya, ritual  alono kamboto  ini sebagian besar tidak lagi dilakukan. Pelaksana ritual hanya mengisi malam ketiga dengan persiapan pembuatan panggung dan pemukulan  ganda  yang menandakan pergantian tahapan dalam ritual ini.
Perubahan lain juga dapat dilihat pada tahap  kabhansule  (perubahan posisi) dan tari  linda  yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh  pomantoto  dan perempuan yang dipingit. Pada tahap kabhasule, ada proses yang harus dilakukan yaitu proses perpindahan dari alam “misal” ke alam “aj‟san” yang mengawali proses tersebut dengan mengelilingkan lampu  padjamara  pada perempuan yang dipingit sebagai tanda penerangan bagi kehidupannya. Penggunaan lampu padjamara  ini, hampir tidak digunakan lagi. Hal ini secara tidak langsung mengurangi nilai dan fungsi yang terkandung dalam ritual ini.
Pada tahapan perubahan posisi juga tidak berurutan sesuai dengan kesepakatan yang telah dilaksanakan secara turun-temurun berdasarkan golongan melainkan saat ini berdasarkan pada siapa yang mempunyai acara dan lebih tinggi tingkat pendidikan dan perekonomiannya. Sedangkan pada bagian tari  linda,  pelaksanaanya hanya diringi dengan alunan ganda,  lagu La Kadandio  tidak lagi dikumandangkan. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan adat yang mengharuskan dan menjadi syarat pelaksaan tari linda yaitu harus diiringi dengan syair lagu La Kadandio. Syair lagi ini dianggap keramhat bagi masyarakat dan hanya dapat dinyanyikan ketika ada tari linda.
4.3  Pembahasan
4.3.1. Perubahan Ritual Kaghombo (pingitan)
Secara umum perubahan dalam suatu ritual tidak dapat dihindari mengingat ritual kaghombo tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Meskipun hal ini terjadi, ritual kaghombo akan tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat muna selama pelaku atau penutur ritual kaghombo maupun masyarakat pendukung ritual kaghombo tetap ada. Perubahan dalam ritual ini juga dapat dilihat dari beberapa unsur di dalam proses pelaksanaannya. Misalnya, penciptaan, konteks pertunjukan dan tahap pelaksanaan.
4.3.1.1  Proses Penciptaan Ritual Kaghombo
Setiap daerah memiliki ritual yang mengandung nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai penyatu dalam suatu komunitas. Nilai-nilai luhur sebagai gambaran hubungan dalam masyarakat, baik hubungan masyarakat dengan Tuhannya, maupun hubungan manusia dengan alam atau lingkungannya. Untuk itu, sebuah ritual tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Pola pemikiran masyarakat seringkali diketahui dari sebuah ritual kaghombo yang didapat secara turun-temurun. Ritual juga memuat gambaran segala aktivitas masyarakat baik yang telah dilalui maupun yang akan datang. Dengan adanya komunikasi sebagai kata kunci sehingga memungkinkan ritual kaghombo dapat tercipta kembali.
Dalam proses pewarisan terdapat interaksi yang dibentuk oleh penutur atau penyaji ritual kaghombo masyarakat muna ataupun penonton. Interaksi yang terjadi diwariskan secara turun temurun yang saling berhubungan satu sama lainnya. Proses pewarisan tersebut merupakan dua hal pokok yang berhubungan dengan proses penciptaan ritual kaghombo. 
Kaghombo merupakan salah satu ritual daur hidup masyarakat Muna yang bernuansa ritual. Ritual kaghombo ini menjadi puncak  kangkilo bagi anak perempuan yang telah memasuki usia remaja dan siap berumah tangga. Artinya, ritual  kaghombo  ini sebagai proses pematangan terakhir bagi perempuan sebelum pernikahan atau mencapai kematangan sempurna dalam kehidupannya yang akan datang. Kematangan sempurna yang akan didapatkan bukan hanya berdasarkan kepatuhan terhadap orang tua, menghargai orang lain, namun yang menjadi dasar pijakan tertinggi bagi masyarakat Muna adalah ajaran agama yang didapatkan oleh anak perempuan agar menjadi manusia sempurna. Anak perempuan pada masyarakat Muna memiliki tempat yang istimewa. Oleh karena itu, kalambe wuna diharapkan dapat menjaga pola tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang tetap bernuansa agama dan kepercayaan yang dimilikinya.
Secara turun-temurun ritual kaghombo ini terus dilakukan oleh masyarakat Muna sebagai pelunasan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Proses penciptaan ritual kaghombo khususnya pada bhatata  yang disampaikan pomantoto banyak dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi pada masyarakat. Pomantoto sebagai penyaji dalam ritual  kaghombo  memberikan bhatata  berdasarkan apa yang terjadi pada masyarakat saat ini. Misalnya pada bhatata berikut ini:
“Dokokaghombo ini maanano mina napohala bhe dosikola, taaka kafoinaghu  welo kaghombo ini nopohala bhe dosikola, taaka kafoinaghu welo kaghombo ini nopohala bhe kafoinaghu we sikola”.
Artinya : Kaghombo ini maksudnya tidak ada perbedaan dengan menuntut ilmu di sekolah, tetapi pesan yang disampaikan dalam ritual  kaghombo ini berbeda  dengan ilmu yang didapatkan di sekolah. Penekanan dan nasehat yang diberikan dalam ritual ini sangat berbeda dengan pelajaran menuntut   ilmu atau waktu sekolah.
“Dokokaghombo ini maanano dofosentuwu nepandehao, kafoinaghu kamponano ini maighono nekamokulaghi. Moraetua, sigaa lagi ane dhohala finda maitu, okamokula lagi sigaa dopogau daani , eh… mina nasentuwu tuturano anahi  amaitu. Sewobha, raawobha ini taaka maanano nendalo”.
Artinya : Pengertian ini maksudnya menyempurnakan apa yang belum diketahui atau ilmu yang belum diketahui. Selama ini yang diajarkan adalah dari orang tua, kapan atau apa bila salah gerak atau bertingkah laku karena yang tidak benar orang tua biasa mengucapkan atau berbicara dengan mengatakan bahwa anak ini tidak sempurna adat pinggitan, sehingga sangatlah penting pengetahuan atau ajaran  yang diajarkan pengetahuan  kaghombo itu.
“Sigaa lagi maitu okamokula dopoghau “ nalumaintobhe  anahi amaitu “ dopogau damaitu rampano oanahi lagi maitu doworae mina naepandehao ghuluha. Daanomo siga mahingka  mie kolalohino, sigaa dua mahingga kamokula dohala finda dua. Dadi itu tabea damehu-mehulaie kafoinaghu kamponano ini”.
Artinya : Sebagian atau biasa orang tua berkata bahwa anak ini tidak akan panjang umurnya, berkata demikian karena  anak itu dinilai tidak mempunyai  kelakuan yang baik atau tingkah laku yang tidak baik dan ini biasanya bukan saja anak kecil tetapi, bahkan orang tua pun salah tingkah atau tidak sopan. Oleh karena itu harus senantiasa diingat-ingatkan  yang di ajarkan selama ini.
Bhatata ini diciptakan sesuai dengan kejadian atau kenyataan yang terjadi dalam lingkup kehidupan sehari-hari kalambe wuna. Seorang pomantoto berusaha menyampaikan pesan dengan menyentuh perasaan anak perempuan melalui ungkapan-ungkapan yang lembut, namun memiliki makna yang berhubungan dengan kehidupannya kelak dan sebagai prempuan yang dimuliakan kedudukannya di masyarakat. Anak perempuan sebagai pertama keluarga dituntut mampu menjaga harga diri keluarga dengan cara bertingkah laku yang baik sesuai ajaran agama dan moral yang diperolehnya.. Menurut sebagaian masyarakat Muna yang telah menjalani ritual ini secara turun temurun bahwa  bhatata  yang disampaikan pada anak perempuan akan membawa perubahan yang baik bagi kehidupannya.
4.3.1.2.  Konteks Pertunjukan
Pertunjukan ritual kaghombo biasanya terjadi dalam ruang sosial budaya tertentu yang menentukan makna pertunjukan. Pertunjukan yang dilakukan tidak terlepas dari aturan atau norma budaya yang telah disepakati oleh masyarakat pendukung ritual tersebut. Baik itu berupa aturan dalam pertunjukan sebuah ritual atau pengemasan pertunjukannya. Sementara sifat dari sebuah pertunjukan tergantung pada konteks pertunjukan yang meliputi segala hal yang berkaitan dengan masyarakat pemilik ritual itu. Konteks ini mengandung variabel seperti penonton yang melihat dan mendengar (Bauman, 1977:27).
Konteks yang dimaksud adalah pemain/pelaku, audiens/penonton, tempat pertunjukan, dan waktu pertunjukan. Hal ini berarti bahwa sebuah pertunjukan tidak dapat dikatakan sebagai pertunjukan ritual kaghombo tanpa adanya konteks. Oleh karena itu, konteks dalam pertunjukan ritual kaghombo sangat penting dalam memberikan makna pertunjukan. Begitupun halnya dengan komunikasi dapat dimengerti ketika dikaitkan dengan konteksnya yakni bagaimana konteks pertunjukannya dan budaya di dalamnya. Bauman (1977:27) mengemukakan bahwa sebuah pertunjukan hendaknya dipandang sebagai perilaku yang disituasikan dan mengandung makna yang ditentukan oleh konteks yaitu budaya dan situasi. Pemahaman ini bila dikaitkan dengan ritual kaghombo sebagai salah satu ritual yang ada pada masyarakat Muna yang terdapat ritual, nyanyian, musik, dan tarian. Unsur-unsur yang terdapat dalam ritual ini memiliki makna bila dikaitkan dengan konteks.
a.      Tempat Pertunjukan
Tempat pertunjukan ritual  kaghombo  sangat diperhatikan oleh masyarakat pemilik ritual ini. Hal ini dilakukan karena posisi kalambe wuna dalam upacara ini sangat dimuliakan yakni sebagai perempuan suci dan diibaratkan akan terlahir kembali dari perut ibunya. Untuk  itu, tempat proses pelaksanaan ritual  kaghombo yang meliputi  kafoluku, kabansule, kalempangi, dan kafosampu  berlangsung dibuat secara khusus yang menyerupai kotak persegi empat yang di dalamnya tidak terdapat cahaya. Sedangkan tahap akhir pelaksanaan ritual ini yang meliputi katandano wite, tari linda, kahapui  dan  kaghorono bhansa  juga dibuat secara khusus (panggung) dan berada pada ruang terbuka yang dapat dilihat secara langsung oleh masyarakat pendukungnya.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman sebagian masyarakaat tidak lagi menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati secara turun-temurun. Misalnya, kotak persegi empat atau yang dikenal masyarakat Muna dengan sebutan  songi  sudah jarang digunakan lagi, sebagian masyarakat pendukung ritual ini mengganti dengan kamar yang berada dalam rumah dan tahapan lainnya seperti katandano wite, tari linda, tidak dilakukan di atas panggung. Perlakuan ini secara tidak langsung mengurangi nilai dan fungsi yang terkandung dalam ritual ini (wawancara dengan Wandoapa 56 tahun Jumat 10 Agustus 2014). Pembuatan panggung itu sendiri berfungsi sebagai tanda bahwa seorang perempuan Muna memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Muna. Untuk itu, posisinya dibuat lebih tinggi dibandingkan masyarakat lain yang menyaksikan ritual kaghombo ini.
b.      Waktu Pertunjukan
Ketentuan waktu dalam ritual ini berdasarkan kepakatan yang telah diwarisi secara turun temurun. Pertama kali ritual dilaksanakan selama 40 hari 40 malam sesuai dengan keputusan raja Muna XVI La Ode Huseini sebagai proses penciptaan manusia yang melewati empat alam34yakni (1) alam arwah yaitu roh masuk bersifat rahasia Tuhan; (2) alam misal yaitu roh sudah berada di sekitar manusia lainnya dalam kandungan; (3) alam aj‟sam yaitu roh sudah dititipkan kepada manusia sehingga manusia lahir dari kandungan; (4) alam insani yaitu manusia telah lahir dan berada di bumi. Penentuan waktu ini juga disesuaikan dengan golongan strata sosial keluarga  kalambe wuna.  Golongan  kaomu dipandang sebagai golongan bangsawan yang pasti memiliki kemampuan lebih dibandingkan golongan maradika dan walaka.
Seiring dengan perkembangan waktu, pelaksanaan upacara kaghombo dikurangi menjadi 4 hari 4 malam. Kaum perempuan mendapat berbagai pengetahuan tentang tata cara kehidupan baik hubungannya dengan Tuhan maupun hubungannya dengan sesama manusia. Empat hari empat malam mengandung makna sebagai berikut:
1.    empat hari empat malam, artinya bahwa raga manusia terdiri atas empat bagian yang saling berekerja sama dalam segala aktvitas manusia setiap saat. Misalnya,  kepala sebagai pusat pemikiran manusia yang menjadi sumber pengambilan keputusan yang akan diwujudkan dalam bentuk tindakan,  dada  dalam hal ini merupakan pusat keteguhan batin yang menjadi sumber keyakinan manusia yang paling utama terhadap Allah SWT, sebagai pencipta alam semesta beserta isinya baik yang lahir maupun gaib, perut yang merupakan asal datangnya segala nafsu manusia baik nafsu yang diridhoi maupun yang dilarangNya. Kemudian  tangan dan kaki hal ini merupakan pelaksana utama daripada realisasi hasil, kerjasama keempat bagian tersebut yang diwujudkan dalam bentuk tindakan yang sangat konkrit.
2.    pemberian makan pada  kalambe wuna  yang dibatasi artinya bahwa dalam kehidupan duniawi tidak serba cukup dengan keinginan, manusia hanya mampu berusaha, tetapi tuhan yang menentukan segalanya.
3.    pakaian dan perhiasan yang beraneka ragam warna artinya bahwa kehidupan masyarakat terdiri atas berbagai macam tipe manusia, dan alangkah baiknya kalau bersatu agar terbentuk kerjasama yang baik untuk memudahkan pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Penggunaan pakaian dan perhiasan disesuaikan dengan adat pernikahan  kalambe wuna.
4.    pencoretan tanah artinya seorang gadis menyadari diri bahwa keberadaan dirinya di muka bumi ini bersifat sementara yang nantinya akan kembali pada tanah.
5.    penerapungan bunga pinang artinya gadis tersebut membuang sifat-sifat jeleknya (Waode Musa, 60 tahun diwawancarai pada hari jumat, 1 Agustus 2014).
Selain 4 hari 4 malam waktu pelaksanaan ritual ini juga dapat dilakukan selama 2 hari 2 malam dan sehari semalam. Pengurangan waktu pelaksanaan ini biasanya disebabkan oleh karena sebagian besar  kalambe wuna  saat ini tidak mampu untuk menjalani ritual ini selama 4 hari 4 malam dan kesibukan masyarakat pendukung ritual itu sendiri sehingga waktu pelaksanaan disesuaikan dengan jadwal pekerjaan mereka. Penentuan waktu pelaksaan ritual ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi masyarakat pendukung ritual itu sendiri. Jika masyarakat yang mengadakan ritual kaghombo memiliki keuangan yang cukup, biasanya waktu pelaksanaa selama 4 hari 4 malam.  Sebaliknya jika perekonomian kurang biasanya anak perempuan mereka akan dititipkan kepada keluarga lain atau pelaksanaan kaghombo hanya dilakukan sehari semalam.
Namun sebagian masyarakat saat ini yang memiliki tingkat pendidikan, kepercayaan agama dan perekonomian yang lebih, biasanya tidak lagi melaksanakan tahapan-tahapan dalam ritual ini. Mereka hanya meminta pada tokoh agama dan  pomantoto  untuk membuatkan  oe metaano  (air baik) dan  oe modaino  (air tidak baik),  lalu dimandikan kepada anak perempuan. Mereka beranggapan bahwa seorang anak perempuan tidak mesti melakukan tahapan-tahapan dalam ritual ini, karena bisa saja berakibat yang tidak baik. Misalnya. tidak mandi selama berhari-hari, memakai bedak seluruh badan dan jatah makan yang dibatasi. Menurut mereka perlakuan seperti ini tidak serta merta akan mengubah sikap anak perempuan dalam kehidupannya kelak (wawancara dengan La Mutiara, 47 tahun pada 30 Juli 2014).
4.3.1.3. Pelaku Ritual Kaghombo
Penyaji ritual dalam ritual ini sebagian besar dilakukan oleh imam perempuan (pomantoto) sedangkan imam laki-laki (lebe) hanya pada tahapan awal dan akhir ritual ini. Penentuan ini memang sudah disepakati secara turun-temurun. Hal ini dikarenakan pelaku utama dalam ritual  kaghombo  ini adalah perempuan yang sedang mensucikan diri. Menurut wawancara dengan La ghanta (65 tahun pada 29 Juli 2014) ritual  kaghombo  adalah upacara yang harus dilaksanakan perempuan dewasa dan sudah menjadi kewajiban orang tua untuk melaksanakannya sekali seumur hidup dengan maksud menuntun anak ke jalan yang benar serta mensucikan diri dan jiwa anak agar dalam hidupnya tidak tersesat dengan gangguan-gangguan roh jahat yang menjerumuskan hidup manusia dalam kemungkaran dan keniscayaan.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ritual kaghombo merupakan ritual yang dilaksanakan sekali seumur hidup bagi perempuan yang telah masuk usia dewasa sebagai proses penyucian diri, agar lebih bertanggung jawab dan siap menghadapi kehidupan yang akan datang.
Ritual ini juga syarat dan permainan rakyat dengan musik yang mengiringi segala hal yang berkaitan dengan tahapan pelaksanaannya. Permainan rakyat biasanya dimainkan oleh laki-laki yang akan diringi dengan alunan ganda. Alunan ganda  ini akan selalu terdengar setiap pergantian tahapan pelaksanaan kaghombo. Selain itu, kaum laki-laki dalam ritual ini juga bertugas untuk mengangkat/menggendong kalambe wuna ketika keluar dari dalam kaghombo. Laki-laki yang bertugas ini hanya diperbolehkan bagi seseorang yang mempunyai hubungan keluarga yaitu ayah, kakak laki-laki, paman, sepupu laki-laki atau calon suami dari perempuan yang dipingit. Dalam ritual ini juga disepakati bahwa kaum laki-laki hanya diperbolehkan berada di luar  songi  untuk menjaga pelaksanaan ritual ini.  
4.3.1.4. Kostum
Dalam ritual  kaghombo  penggunaan kostum sangat diperhatikan dan disesuaikan dengan ketentuan adat dari seorang kalambe wuna yang akan dikaghombo. Pengaturan dalam pakaian adat ini telah berlangsung sejak zaman pemerintahan Titakono dan  bhonto bhalano  La Marati (Couvreur, 2001: 40-52). Pakaian ini diatur sesuai dengan ketentuan masing-masing golongan. Misalnya, golongan perempuan kaoumu yang belum menikah memakai satu lembar sarung, satu kain sebatas mata kaki, kain kedua dipakai di atasnya, tetapi hanya sebatas sedikit di atas lutut. Golongan  walaka  memakai tiga lembar sarung dan memakai kabhantapi yang diletakkan di bahu sebelah kanan. Sedangkan dua golongan lainnya yaitu anangkolaki dan maradika memakai tiga kain, yang berbeda hanya penempatan kain kedua yang berada di dibawah betis dan sebatas mata kaki. Penggunaan perhiasan juga disesuaikan pada golongan-golongannya dan status kalambe wuna yang sudah menikah maupun yang belum menikah.
Kebiasaan cara berpakaian yang lain dilakukan oleh kalambe wuna   yang belum menikah di zaman dahulu yakni menggunakan kain dengan cara mengikatnya pada salah satu bahu dan mengikatnya di atas dada. Dalam tahapan pelaksanaan ritual  kaghombo  juga diperlihatkan penggunaan kain atau sarung yang diikatkan di atas dada. Pada tahapan  kafoluku, kabhansule,  dan  kalempangi menggunakan kain putih dan sarung yang diikat pada bagian atas dada. Kain putih yang digunakan memiliki makna yang berhubungan dengan penggambaran kesucian diri seorang perempuan. Namun, sebagian pelaku dalam ritual ini tidak lagi memperhatikan nilai yang terkandung dalam pemakaian kain putih.
Pergeseran nilai mulai terjadi dalam ritual ini, beberapa unsur yang menunjang di dalamnya mulai dihilangkan. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini, pada tahapan  kafoluku  perempuan yang akan dikaghombo  tidak lagi menggunakan kain putih yang telah menjadi kesepakatan dalam ritual ini yang telah diwariskan secara turun temurun.
Gambar 10: Tahapan pelaksanaan ritual  kaghombo  yakni  kafoluku.  Tampak kalambe wuna  memasuki  songi  (tempat kaghombo). Kain yang digunakan berupa sarung yang bercorak.  (Sumber: Dok. Ismul azan, di desa Lagadi. Tanggal 04 Agustus 2014)

Selain penggunaan kain atau sarung dalam ritual ini, mengenai perhiasan dan pendandanan bagi  kalambe wuna  pada masa sekarang, sebagian kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun mulai dihilangkan oleh para pelaku ritual ini. Misalnya, saat proses  kabhindu yaitu pembersihan bulu-bulu halus di wajah dan pembuatan poni yang harus dilakukan sebagai tanda pembeda dengan peserta kaghombo lainnya yang lebih dahulu menikah. Kutipan wawancara dengan Wandoapa (01 Agustus 2014), “….keluarga yang menyelenggarakan ritual kaghombo ini biasanya, dilakukan ketika ada anak perempuannya yang akan menikah setelah 4 hari 4 malam melewati kaghombo. Untuk membedakan perempuan Muna mana yang akan menikah setelah kaghombo berlangsung dengan mana yang tidak akan menikah terlihat pada potongan rambut (poni) akan berbeda bentuknya dengan yang sudah menikah…”.
4.3.1.5.  Perlengkapan Ritual Kaghombo
Perlengkapan ritual  kaghombo meliputi bahan dan alat dalam tahapan proses pelaksanaannya. Bahan dan alat dalam kaeghomboha (kaghombo) ini terdiri dari;
a)      Bhansano ghai dan bhansano bea, digunakan sebagai pengalas kepala bagi kalambe wuna dalam kaghombo. Saat ini penggunaan pengalas kepala biasanya hanya memilih salah satu dari dua pengalas kepala. Pemilihan salah satu pengalas kepala tidak sesuai dengan ketentuan adat yang seharusnya digunakan kedua-duanya.
b)      Padjamara, (lampu ritualonal masyarakat Muna) yang tidak dinyalakan.
c)      Dua buah palangga (tempat yang terbuat dari lidi pohon aren dalam bentuk anyaman). Palangga merupakan analogi dari kendaraan Tandiabe pada awal memasuki daerah Muna. Pangga yang berisikan beras, telur dan uang perak. Saat ini sebagian besar masyarakat Muna tidak lagi menggunakan palangga, namun masyarakat menggantinya dengan wadah yang terbuat dari plastik.
d)      Polulu (kampak) dan kandole (bambu alat tenun) memiliki makna sebagai isyarat bahwa siap mengahadapi kehidupan rumah tangga yang penuh tantangan.  Kedua benda ini dimasukkan dalam ruang kaghombo sebagai simbol bahwa kalambe wuna diharapakan mampu menghadapi seluk beluk kehidupan. Namun kenyataannya, penggunaan  kandole  sudah jarang ditemukan dalam ritual kaghombo.
e)      Jagung dan umbi-umbian (ghofa dan mafu), memiliki makna kehidupan.
f)       Kapas dan benang sebagai bahan sarung yang memiliki makna keterampilan seorang perempuan bahwa mampu menghadapi keluarga apabila telah mampu membuat tenunan (ukuran zaman dahulu).
g)      Anyaman daun kelapa yang masih muda (bhale) yang berbentuk segi empat ukuran 50x50 cm yang jumlahnya disamakan dengan jumlah kalambe wuna yang dipingit.
h)      Tikar yang terbuat dari daun agel (ponda bhale), tikar ini digunakan sebagai alas tempat tidur para  kalambe wuna. Menurut kepercayaan masyarakat Muna, tikar tersebut tidak dapat diganti dengan karpet atau tikar plastik, karena memiliki nilai filosofi kehidupan yaitu sebagai perempamaan dalam kehidupan keluarga tidak hanya mengaharapkan yang enak tetapi juga harus siap menghadapi penderitaan dalam kehidupan.
i)        Kain putih sebagai alas tikar ponda bhale yang memiliki makna kesucian.
j)        Obura (bedak).
k)      Sultaru adalah miniatur yang mendampingi atau berada di belakang perempuan yang dipingit, ketika melaksanakan tahapan  katandano wite, tari linda.
Untuk lebih jelasnya sebagian perlengkapan ritual kaghombo yang disebutkan di atas dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini:
Gambar 12: Perlengkapan Kaghombo,   Bhansano Bea, Pae, Ghai, Kai Kapute, Polulu dan   Ghunteli. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 04 Agustus 2014)

Kenyataan yang terjadi sekarang dalam pelaksanaan ritual ini, sebagian pelengkapan ritual ini mulai tidak diperhatikan nilai dan fungsinya. Misalnya, kapas dan benang sebagai bahan sarung yang memiliki makna keterampilan seorang perempuan bahwa mampu menghadapi keluarga apabila telah mampu membuat tenunan (ukuran zaman dahulu) tidak lagi dimasukkan ke dalam tempat kaghombo yang berfungsi sebagai usaha perempuan yang dipingit agar kelak dalam menghadapi kehidupan yang sulit, perempuan mampu membuat usaha dalam membantu keluarganya. 
Begitupun halnya dengan jagung dan umbi-umbian (ghofa dan mafu), memiliki makna kehidupan sudah jarang dimasukkan ke dalam tempat kaghombo. Saat ini jagung dan umbi-umbian diganti dengan beras, telur dan ketupat. Hanya saja pada pelengkapan yang ini masih memiliki makna yang sama yakni penunjang dalam kehidupan nantinya.
4.3.1.6.  Penonton
Penonton menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan dalam pertunjukan ritual kaghombo. Hal ini sesuai dengan pendapat Finnegan yang membagi audiens atas pendengar dan penonton, serta audiens yang ikut serta dalam penceritaan dan terpisah dari penceritaan (Tuloli, 1991:225). Penonton berperan sebagai pemberi respon atas keberhasilan atau tidaknya suatu pertunjukan sebuah ritual. Tanggapan penonton yang  diperlihatkan akan beragam sesuai dengan rangsangan yang diberikan oleh pelaku ritual. Sweeny (1987:2) mengemukakan bahwa pelaku ritual secara sengaja merangsang audiens agar memberikan reaksi tertentu pada sebuah pertunjukan. Ketika suatu pertunjukan ritual berakhir, maka kesan yang akan ditimbulkan bisa sama atupun akan berbeda.
Dalam ritual kaghombo terutama pada pertunjukan permainan rakyat, pada tari linda dan tahap akhir yaitu kaghorono bhansa dapat dilihat reaksi yang beragam. Penonton dalam ritual ini tidak dibatasi pada pembagian golongan dan usia namun dapat disaksikan seluruh masyarakat. Masyarakat pada umumnya berdatangan ketika mendengar aluna  ganda  yang dimainkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan sehingga dapat menarik perhatian masyarakat lainnya. Ritual ini juga dapat membawa jodoh bagi  kalambe wuna  yang dikaghombo. Kertertarikan dapat terjadi ketika seorang penonton terbuai dengan kelemahlembutan kalambe wuna saat menari linda dan pada umumnya perempuan yang telah dikaghombo  memiliki aura kedewasaan dan kecantikan alami. Adapun berbagai reaksi yang dikeluarkan oleh penonto sangat beragam. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 13: Tari Linda. Tari ini merupakan tari khas masyarkat Muna yang mempertontonkan kelemah lembutannya. Audiens memberikan reaksi yang berbeda-beda. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 08 Agustus 2014)

Reaksi yang diberikan umumnya berbeda-beda. Tuloli (1991:259), memberikan tiga alasan mengenai timbulnya reaksi pada sebuah penampilan yaitu (1) isi dan suasana adegan yang menyentuh perasaan pendengar; (2) pemakainan kata-kata atau ungkapan tertentu; (3) gaya tambahan sebagai hiasan pada setiap adegan, baik yang berhubungan dengan alat musik, suara, maupun gerak-gerik penutur. Sebuah pertunjukan tentu saja menimbulkan reaksi dari berbagai individu maupun kelompok masyarakat yang menyaksikannya. Reaksi yang didapatkan tentu saja akan berbeda antara individual dan kelompok.
Pelaksanaan ritual kaghombo pada masyarakat Muna juga menimbulkan reaksi bagi masyarakat pendukungnya maupun masyarakat di luar pendukungnya. Dari awal tahap pelaksanaan ritual ini ditandai dengan pemukulan  ganda,  yang kemudian terus mengiringi pelaksanaannya. Pemukulan  ganda  yang selalu menyertai setiap tahapan dalam ritual ini memiliki tujuan tersendiri yakni sebagai pemberitahuan pada masyarakat pendukung ritual atau masyarakat umum lainnya. Kesan yang ditimbulkan akan beragam dan dapat terjadi pada siapapun.
Misalnya, anak-anak dengan polos akan tersenyum dan bahkan tertawa sedangkan orang dewasa dengan hikmat menyaksikan tari  linda yang diiringi dengan alunan ganda yang musiknya berirama cepat sedangkan penarinya akan bergerak lemah gemulai. Reaksi lain yang biasa juga terjadi saat tari  linda  yaitu pihak keluarga atau penonton lainnya akan bersorak ramai ketika seorang pemuda dengan sigap memberikan sebuah cincin pada kalambe wuna yang sedang menari. Peristiwa ini biasa dianggap sebagai bukti kesungguhan dari pemuda tersebut untuk secepatnya melamar sang gadis. Akan tetapi, sebagian dari penonton yang umumnya berasal dari suku lain justru tidak bereaksi. Hal ini bisa terjadi pada sebuah pertunjukan, karena penonton tidak mengerti bahasa daerah yang digunakan dan tidak mengetahui makna dari gerakan-gerakan atau bunyi-bunyian yang dipertontonkan.



BAB V
PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian yang telah di bahas pada bab sebelumnya,  maka kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ritual kaghombo merupakan salah satu ritual masyarakat Muna yang dilaksanakan sebagai puncak  kangkilo (sunatan) dari anak perempuan, dan memiliki nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muna khususnya Desa Lagadi. Nilai-nilai dalam ritual ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat muna karena memuat aspek sosial, religius, filosofis dan kesejarahan.
Ritual kaghombo dalam perkembangannya dipengaruhi oleh perubahan masyarakat pendukungnya. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai aspek yakni internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kepercayaan, agama, dan perkembangan pendidikan. Sedangkan faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat pendukungnya misalnya aspek ekonomi.
Pemikiran masyarakat Desa Lagadi khususnya  kalambe wuna (gadis yang di pingit) mulai terpengaruh dengan hal-hal baru yang di dapat dari pendidkan modern. Pemikiran ini menganggap ritual ini pada beberapa bagian tahapannya bertentangan dengan pemikiran modern. Misalnya, bahwa ritual ini dilakukan sebagai proses pematangan dan pensucian diri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari dan kehidupan rumah tangga. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran yang berpendidikan tinggi mengatakan kesiapan dalam berumah tangga ketika seorang perempuan mampu berpikir dengan baik dan memiliki pekerjaan dan pendidikan yang tinggi.
Namun, pada kenyataannya perubahan masyarakat dan bentuk ritual kaghombo  tidak serta merta menghilangkan ritual itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan tetap dilaksanakannya ritual kaghombo sampai saat ini. Seiring dengan perkembangan zaman sebagian tahapan dalam pelaksanaan ritual  kaghombo  tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat yang sebenarnya. Proses tahapan pelaksanaan ritual  kaghombo  saat ini mengalami pergeseran nilai yakni pada ritual kaghombo yang memuat nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan, karena ritual ini memiliki keunikan tersendiri. Ritual ini dalam pelaksanaanya juga melaksanakn seni ritual lainnya, seperti, permainan rakyat: ewa wuna, seni musik dan tarian.

5.2    Saran
Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan, maka beberapa saran dan masukkan dapat disampaikan kepada masyarakat Desa Lagadi agar memikirkan langkah yang harus dilakukan agar keberlanjutan dan kebertahanan nilai-nilai dalam ritual ini tetap dipertahankan. Pertama, diperlukan pemahaman dan penanaman nilai-nilai budaya dalam ritual kaghombo dari generasi tua ke generasi muda. Sehingga masyarakat dapat membuka pemikiran-pemikiran positif mengenai ritual tersebut.  Kedua, dalam rangka pewarisan ketentuan adat pelaksanaan dan nilai-nilai di dalamnya diperlukan adanya lembaga adat atau forum masyarakat lainnya yang berkaitan dengan aturan-aturan dalam ritual ini.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengadaptasi perubahan dan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, hukum, dan politik serta proses demokratisasi dan hak-hak masyarakat.  Ketiga,  pemerintah provinsi dan daerah, jika dimungkinkan dapat melahirkan peraturan daerah yang dapat mengukuhkan keberadaan suatu tradisi sehingga jati diri dan indentitas masyarakat Muna dapat terlihat. Perlakuan ini agar masyarakat tidak melupakan akar budayanya. Terlebih lagi pemerintah diharapkan perhatiannya pada tingkat satuan pendidikan agar memasukan tradisi yang ada di kabupaten Muna dalam kurikulum muatan lokal agar generasi muda lebih termotivasi untuk mempelajari seni tradisi pada umumnya dan khususnya ritual kaghombo.