HASIL PENELITIAN
RITUAL KAGHOMBO SEBAGAI MAKNA INTERAKSI SIMBOLIK DALAM
MASYARAKAT MUNA
(Studi Kasus di
Desa Lagadi, Kecamatan Lawa)
OLEH:
DADANG PURNOTO
C1 D1 11 241
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari
masyarakat Muna telah menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang
disebut sebagai pola kehidupan global. Warga masyarakat mengalami berbagai
perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Maka,
perubahan tersebut telah mengancam keberadaan ritual lokal, antara lain warisan
budaya, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan masyarakatnya
(Giddens 2003: 9-15).
Dimana perubahan dapat dilihat dengan berubahnya
waktu pelaksanaan ritual kaghombo, proses pelaksanaan ritual kaghombo, serta
alat-alat yang digunakan dalam ritual kaghombo tersebut. Ritual kaghombo
dilaksanakan oleh masyarakat Muna, baik yang berada pada komunitas masyarakat
Muna maupun pindah di daerah lain. Menurut
cerita yang berkembang di masyarakat, ritual
kaghombo pertama kali diadakan
selama 40 hari 40 malam oleh raja Muna XVI yang memerintah pada 1716-1757 M
yaitu La Ode Huseini (Omputo Sangia). Namun, pelaksanaan ritual kaghombo
sekarang tidak lagi seperti yang diadakan oleh raja Muna yaitu selama 40 hari
40 malam tetapi ritual kaghombo sekarang adalah dengan adanya perubahan maka
waktu pelaksanaan ritual kaghombo menjadi 4 hari 4 malam. Ritual ini berkembang
dalam masyarakat Muna sebagai ritual
‘’pelunasan‟ tanggung jawab orang tua terhadap anak perempuannya. Mereka akan
merasa berdosa bila menikahkan anaknya tanpa menjalankan ritual kaghombo. Ritual ini juga dianggap sebagai
pembekalan nilai-nilai etika, moral, dan spritual terhadap anak perempuan agar
kelak dalam mengarungi bahtera rumah tangga, ataupun dalam kehidupan
bermasyarakat dapat mengerti dan menempatkan diri dengan baik sebagai seorang
perempuan yang dimuliakan kedudukannya. Hal ini mempertegas status kalambe wuna
sebagai perempuan yang patut dihargai dan dituntut mampu menjaga kehormatan
keluarga (Couvreur, 2001:1-4).
Ritual kaghombo ini menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Muna yang memiliki
adat-istiadat dalam setiap menjalani siklus kehidupan. Pewarisan ritual ini di dapatkan
secara langsung dari keturunan keluarga. Proses pewarisan yang terjadi di dalam
masyarakat pendukung ritual ini, meliputi segala hal yang berhubungan dengan
proses pelaksanaan, penentuan waktu
maupun yang berhubungan dengan tata cara pelaksanaannya. Mantra atau bhatata
yang digunakan dalam ritual ini juga diwariskan dari pembawa ritual. Hal
ini menggambarkan ritual kaghombo
merupakan milik kolektif masyarakat
Muna. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muna juga menghargai ritual dan
kebudayaan etnis lain, tetapi dalam interaksi tertentu tetap berperilaku dan
hidup menurut budaya mereka sendiri.
Masyarakat Muna memahami ritual ini sebagai puncak
dari ritual yang harus dilakukan kaum perempuan sebelum memasuki pernikahan. Pada
setiap ritual masyarakat Muna dipahami sebagai rangkaian atau proses adat atau
tata cara yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai
kejadian dalam masyarakat pendukungnya. Begitupun halnya dengan ritual
kaghombo, dianggap sebagai doa dan dipercaya dapat membersihkan jiwa dan raga
kaum perempuan dari hal-hal yang buruk selama hidupnya.
Ritual adalah bentuk perayaan yang berhubungan
dengan beberapa kepercayaan atau agama
ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa normal atau seperti biasa
yang dirasakan oleh semua manusia yang leluhur dalam arti suatu pengalaman yang
suci (Hadi, 1999:29-30).
Ritual kaghombo mempunyai peranan dan kedudukan penting dalam
kehidupan masyarakat Muna. Ritual ini merupakan siklus hidup perempuan Muna
yang dilakukan sebagai tutura
(pencerahan). Tutura kaghombo dapat memperlihatkan kematangan
diri perempuan dalam menghadapi kehidupan secara khusus dalam berumah tangga
dan pembauran dalam masyarakat secara umum.
Ritual kaghombo menjadi simbol proses terciptanya
manusia dari setetes darah hingga
menjadi manusia sempurna. Hal ini mempertegas ritual kaghombo memuat falsafah hidup bagi
masyarakat Muna yang senantiasa membimbing masyarakat Muna untuk bersikap baik,
saling menghargai, menghormati orang yang lebih tua dan mengutamakan
kebersamaan masyarakat Muna.
Selain itu juga dapat dikatakan bahwa ritual
kaghombo merupakan ekspresi dan interaksi simbolik dalam masyarakat Muna,
khususnya bagi masyarakat Muna desa lagadi yang memiliki anak perempuan. Hal
ini disebabkan ritual tersebut juga memuat pandangan hidup dan sistem
kepercayaan.
Dari uraian latar belakang, penelitian ini berusaha
mengkaji keberadaan ritual kanghombo sebagai makna interaksi
simbolik dalam masyarakat Muna khususnya dalam masyarakat Desa Lagadi. Kaghombo sangat berkaitan erat dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar pemikiran kehidupan
bermasyarakat dalam ruang lingkup masyarakat Muna.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dikemukakan dua masalah
yang berkaitan dengan ritual kaghombo sebagai makna interaksi simbolik dan
hubungannya dengan pelestarian dan pengembangan ritual pada masyarakat Muna, yaitu:
1.
Bagaimaana
eksistensi (keberadaan) ritual kaghombo
sebagai interaksi simbolik dalam
masyarakat muna Desa Lagadi ?
2.
Apakah
ada perubahan ritual Kaghombo dari zaman ke zaman, sehingga
ritual kaghombo menjadi tidak lazim lagi bagi masyarakat Muna Desa Lagadi ?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan,
maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk
mengetahui eksistensi
(keberadaan) ritual kaghombo sebagai
interaksi simbolik dalam masyarakat Muna
Desa Lagadi.
2. Untuk mengetahui pergeseran ritual Kaghombo dari zaman ke zaman, sehingga ritual kaghombo menjadi tidak lazim lagi bagi
masyarakat Muna Desa Lagadi ?
1.3.2. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan bermanfaat bagi upaya pelestarian budaya daerah yang hampir
terlupakan.
Adapun manfaat
yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1.
Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan Dapat
memberikan pemahaman akan pentingnya nilai-nilai kearifan lokal bagi
pengembangan ilmu komunikasi khususnya dalam bidang kehumasan.
2.
Secara Praktis, penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat
bagi masyarakat muna, khususnya mayarakat muna di Desa Lagadi yang menjadi tempat
penelitian.
3. Secara Metodologis,
penelitian ini dapat menjadi bahan kajian bagi penelitian selanjutnya yang
relevan dengan masalah yang diteliti.
I.4. Sistematika Penelitian
BAB
I. PENDAHULUAN, merupakan bagian yang menjelaskan dasar pemikiran standar
akademik dan ilmiah. Bagian ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, serta sistematika penukaghombo.
BAB
II. TINJAUAN PENELITIAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentang tinjauan
pustaka dan kerangka pemikiran memuat pengertian ritual, kaghombo, pelaksanaan
kaghombo sesuai ketentuan adat, tahap pelaksanaan upacara kaghombo, landasan
teori dan kerangka pemikiran.
BAB
III. METODE PENELITIAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentang metode
penelitian yang memuat lokasi penelitian, penentuan informan, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB
IV HASIL DAN PEMBAHASAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentang hasil dan
pembahasan dari penelitiana ini yang telah dilaksanakan di lokasi penelitian.
BAB
V KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bagian yang menjelaskan tentan kesimpulan dan
saran dari uraian hasil dan pembahasan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1
Ritual
Ritual merupakan sarana yang menghubungkan manusia
dengan hal-hal yang dianggap sakral. Ritual dipahami sebagai bentuk
penyelenggaraan hubungan antara manusia kepada yang gaib, hubungan manusia
dengan sesamanya, dan hubungan manusia pada lingkungannya. Untuk itu ritual
bukan hanya dianggap sebagai sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok,
tetapi sebagai cara perayaan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
masyarakat.
Ritual merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh
sebagian besar masyarakat dalam siklus kehidupan sejak zaman dahulu. Dalam
proses pelaksanaannya ritual tidak terlepas dari penggunaan bahasa dan
kata-kata sebagai media penyampaiannya. Bahasa dan kata-kata yang sering
digunakan dalam ritual disebut mantra.
Turner (Endraswara, 2003:175) mengelompokkan ritual
menjadi dua yaitu: pertama, ritual krisis hidup artinya ritual yang berhubungan
dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup,
ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, seseorang akan masuk dalam lingkup
krisis karena terjadi perubahan tahap hidup termasuk di dalamnya kelahiran,
pubertas dan kematian. Kedua, ritual gangguan yakni ritual sebagai negosiasi
dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia.
Berdasarkan klasifikasi ritual yang disebutkan diatas,
ritual kaghombo termasuk pada kelompok
yang pertama berhubungan dengan masa peralihan yakni masa peralihan perempuan
remaja ke usia yang lebih dewasa atau masa peralihan ke jenjang perkawinan.
Biasanya pada masa ini akan terjadi krisis hidup yang akan menimbulkan berbagai
dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif dalam kehidupannya. Untuk
itu, masyarakat Muna khususnya kaum perempuan yang akan melewati masa ini,
terlebih dahulu akan melewati proses ritual kaghombo
agar kelak dalam kehidupan yang akan datang telah siap secara lahir
batin.
Tahapan dalan ritual ini mengajarkan pada perempuan
agar selalu siap menghadapi segala hal yang akan terjadi dalam kehidupan
sehari-harinya atau dalam rumah tangganya. Selain itu, ritual juga mempunyai
fungsi untuk keberlangsungan hidup yaitu: (1) ritual akan mampu
mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama
kebudayaan melalui individu dan kelompok; (2) ritual menjadi sarana pendukung
untuk mengungkapkan emosi; dan (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan
sosial (Endraswara, 2003:175).
Berdasarkan uraian konsep ritual diatas dapat saya
disimpulkan bahwa ritual adalah sarana yang menghubungkan manusia dengan
hal-hal yang dianggap sakral. Ritual merupakan bagian dari proses
pelaksanaannya kaghombo yang tidak terlepas dari penggunaan bahasa dan
kata-kata sebagai media penyampaiannya. Ritual dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu ritual krisis hidup dan ritual gangguan. Ritual krisis hidup
artinya ritual yang berhubungan dengan hidup manusia dimana seseorang akan
masuk dalam lingkup perubahan tahap hidup seperti kelahiran, pubertas dan
kematian. Sedangkan ritual gangguan yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh
halus agar tidak mengganggu manusia. Dalam ritual ini perempuan diajarkan agar
selalu siap menghadapi segala hal yang akan terjadi dalam kehidupan sehari-hari
atau dalam rumah tangganya.
2.1.2
Kaghombo
Ritual kaghombo
merupakan upacara adat bagi masyarakat Muna yang pertama kali diadakan pada
masa pemerintahan raja Muna XVI, bernama La Ode Huseini yang bergelar Omputo Sangia terhadap putrinya yang
bernama Wa Ode Kamomono Kamba (La Oba, dkk. 2008:4). Oleh sebab itu, setelah
proses Kaghombo selesai maka perempuan lahir bagaikan kertas putih dan memahami
seluk beluk kehidupan duniawi khususnya berkaitan dengan kehidupan berumah tangga
menuju pada pembentukan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.
Ritual kaghombo
sebagai salah satu bagian dari budaya masyarakat Muna yang tidak akan pernah
berdiri sendiri tanpa masyarakat pendukungnya. Menurut Kayam (1981:38-39),
masyarakat adalah faktor penting dalam menyangga kebudayaan, mencipta, memberi
kebebasan bergerak, memelihara, mengembangkan untuk menciptakan kebudayaan
baru.
Hal ini sejalan dengan Koentjaranigrat (2000:5-8)
yang menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: (1) sebagai
kumpulan dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan
dan sebagainya, (2) sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan perpola dari
manusia dalam masyarakat, dan (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Baginya budaya juga berkenaan dengan cara hidup manusia, belajar, berpikir,
mempercayai dan mengusahakan sesuatu yang berhubungan dengan budayanya,
sehingga budaya atau ritual memiliki sifat yang dinamis dan dapat berubah-ubah.
Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaranigrat (2000:5) diatas bahwa wujud
kebudayaan sebagai suatu aktivitas masyarakat yang kompleks, dan sebagian
masyarakat dalam proses penyempurnaan hidupnya akan mengupayakan segala hal
agar tetap bertahan hidup.
Sebuah ritual kaghombo juga berpotensi untuk berubah dan bertahan. Perubahan
dalam ritual kaghombo terjadi karena
tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Disisi lain, ritual berpotensi
bertahan, karena mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang hidup ditengah
dinamika kemajuan teknologi dan perkembangan zaman. Perubahan-perubahan
tersebut dapat terjadi akibat gejolak yang timbul dari tatanan kehidupan
masyarakat, baik pemerintah, masyarakat sebagai pendukung ritual maupun
pelaku/penutur ritual itu sendiri. Ritual kaghombo juga mengalami perubahan, namun perubahannya
tidak secara keseluruhan. Perubahan dapat dilihat dari uraian proses
pelaksanaan ritual kaghombo.
Berdasarkan uraian konsep kaghombo di atas dapat
saya simpulkan bahwa kaghombo merupakan upacara adat bagi masyarakat muna. Bagi
perempuan yang telah menjalankan kaghombo, maka perempuan tersebut lahir
bagaikan kertas putih dan memahami seluk beluk kehidupan khususnya berkaitan
dengan kehidupan berumah tangga menuju pada pembentukan keluarga sakinah,
mawaddah dan warahmah. Kaghombo juga berpotensi untuk berubah dan bertahan.
Perubahan kaghombo terjadi karena masyarakat muna tidak mampu mengikuti
perkembangan zaman. Di sisi lain ritual kaghombo berpotensi bertahan karena
mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang hidup ditengah dinamika kemajuan
teknologi dan perkembangan zaman.
2.1.3
Kebudayaan Dalam Komunikasi
Kebudayaan merupakan sebuah lensa dimana,
seperti halnya saat kita menggunakan lensa. Untuk meneropong sesuatu kita harus
memilih suatu obyek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Beberapa orang
awam mengartikan kebudayaan merupakan sebuah seni. Kebudayaan melebihi seni itu
sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antar
manusia.
Kebudayaan merupakan pola hidup yang
bersifat mencakup segalanya. Selain itu kebudayaan bersifat kompleks, abstrak,
dan merasuki semua aspek dan segi kehidupan. Menurut Ruben (1984 : 302-312) menyebutkan
beberapa karakteristik dari kebudayaan (subbudaya) yaitu kompleks dan banyak
segi tidak dapat dilihat berubah sejalan dengan waktu. Jika kita menganalisis
dan mempelajari suatu kebudayaan, baik kebudayaan kompleks dari unit masyarakat
yang beda maupun kebudayaan (subbudaya) dari unit hubungan kecil yang lebih
akrab (seperti komunitas penjara, lembaga pendidikan , kelompok etnis dll) akan
ditemukan sejumlah segi yang komplek dan saling berkaitan berperan didalamnya,
sehingga sangat sulit untuk mengidentifikasi dan melakukan kategorisasi
(khususnya untuk unit masyarakat yang besar/luas akan banyak sekali unsur-unsur
yang berperan sehingga sulit mengidentifikasi dan melakukan kategorisasi).
kebudayaan dapat dikatakan lebih
cenderung pada tindakan-tindakan individu sebagai birokrat. Bukan individu
secara umumnya. Namun level kajian Mead tidak makro seperti kajian-kajian dari
Max, Durkheim, dan Weber. Mead lebih cenderung menerapkan gagasan kemunculan
kebebasan pada proses kesadaran ketimbang menerapkannya pada masyarakan yang
lebih luas. Jadi, pikiran dan diri dipandang sebagai bentuk proses sosial yang
baru muncul.
Wiliam James dan John Dewey sangat
mempengaruhi Mead dalam kajian
prakmatisnya, sehingga dengan sedikit campuran kajian psikologi, Mead dapat
membentuk suatu skema filosofis dan psikologi sosial yang benar-benar baru.
Dapat dikatakan, Mead adalah salah satu penganut aliran behaviorisme yang
melihat individu bukan dari siapa dia, namun melihat pada kerangka perilakunya.
Dimensi yang paling mendasar dari
kebudayaan adalah bahasa, adat kebiasaan kehidupan keluarga, cara berpakaian,
cara makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, falsafah ekonomi,
keyakinan, dan sistem nilai. Unsur-unsur ini tidak dapat terpisahkan satu
dengan yang lainnya tetapi malah saling berinteraksi satu dengan yang lainnya
terbentuklah suatu sistem kebudayaan tersendiri. Misalnya, kecenderungan punya
banyak anak tidak dapat dijelaskan dari
segi adat kebiasaan saja tetapi dapat juga dijelaskan dari segi agama, ekonomi,
kesehatan dan mungkin dari segi teknologi dari masyarakat yang bersangkutan.
Tetapi dibarat dengan perkembangan ekonomi
yang cukup tinggi, mengecilnya jumlah anak dalam keluarga dipengaruhi oleh
kompleksitas segi ekonomi, kondisi sosial serta sikap yang berkaitan dengan
pembagian peranan sosial anatar pria dan wanita. Inilah penjelasan kompleks dan
banyak segi.
Kebudayaan tidak dapat dilihat.
Maksudnya, keberadaan kebudayaan dalam kehidupan tidak nyata terlihat secara
fisik tetapi merasuk dalam segala segi kehidupan, sehingga tidak diperhatikan
dan tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan eksistensi
(keberadaan) kehidupan baru muncul ketika terjadi :
1. Anggota
kebudayaan (subbudaya) melakukan pelanggaran terhadap standar-standar
kebudayaan yang berlaku selama ini.
2. Bertemu
secara kebetulan dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan atau subbudaya
lain dan ketika terjadi interaksi terlihat adanya perbedaan tingkah laku yang
selama ini dikenalnya dan dilakukannya.
Kebudayaan dengan masyarakat. Melville
J. hendskovits dan Bronislaw Malinowki mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
kultural-determinism.Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun
dari suatu generasi yang lain yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, dan lain-lain, kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan dalam
bermasyarakat.
Berdasarkan uraian konsep kebudayaan
dalam komunikasi dapat saya simpulkam bahwa kebudayaan merupakan pola hidup
yang bersifat mencakup segalanya. Kebudayaan tidak dapat dilihat. kebudayaan dalam kehidupan tidak nyata
terlihat secara fisik tetapi merasuk dalam segala segi kehidupan, sehingga
tidak diperhatikan dan tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaan
kebudayaan dalam kehidupan, muncul ketika terjadi anggota kebudayaan melakukan
pelanggaran terhadap standar-standar kebudayaan yang berlaku selama ini. Bertemu
secara kebetulan dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan atau subbudaya
lain dan ketika terjadi interaksi terlihat adanya perbedaan tingkah laku yang
selama ini dikenalnya dan dilakukannya.
2.1.4 Simbol Dalam Komunikasi
Komunikasi atau pesan verbal adalah
semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga
dianggap sebagai sistem kode verbal (Deddy Mulyana : 2005). Bahasa dapat
didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol
tersebut, dan menggunakan kata-kata yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas.
Komunikasi nonverbal adalah proses
komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh
komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi
wajah dan kontak mata, penggunaa objek serperti pakaian, potongan rambut, dan
sebagainya, simbol-simbol serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan,
kualitas suara, gaya emosi dan gaya berbicara. Sedangkan komunikasi verbal
adalah digunakan dalam katat-kata.
Fungsi komunikasi nonverbal
Fungsi pertama : Repitisi
Perilaku nonverbal dapat mengulangi
perilaku verbal. Misalnya, anda menggunakan kepala ketika mengatakan “Ya,” atau
menggelengkan kepala ketika mengatakan tidak, atau menunjukan arah (dengan
telunjuk) kemana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.
Fungsi
kedua : subtitusi
Perilaku nonverbal dapat menggantikan
verbal, jadi tanpa berbicara anda bisa berinteraksi dengan orang lain.
Misalnya, seorang pengamen mendatangi mobil anda kemudian tanpa mengucapkan
sepatah katapun anda menggoyangkan tangan anda dengan telapak tangan mengarah
kedepan (sebagai pengganti “tidak”). Isyarat nonverbal yang menggantikan kata
atau frasa inilah yang disebut emblem.
Fungsi
ketiga : kontradiksi
Perilaku nonverbal dapat membantah atau
bertentangan dengan perilaku verbal dan bisa memberikan makna lain terhadap
pesan verbal. Misalnya, anda memuji prestasi teman sambil mencibirkan bibir.
Fungsi
keempat : eksentuasi
Memperteguh, menekankan atau melengkapi
perilaku verbal. Misalnya, menggunakan gerakan tangan, nada suara yang melambat
ketika berpidato. Isyarat nonverbal tersebut affect display.
Fungsi
kelima : komplemen
Perilaku nonverbal dapat meregulasi
perilaku verbal. Misalnya, saat kuliah akan berakhir, anda melihat jam tangan
dua-tiga kali sehingga dosen segera menutup kuliahnya.
Komunikasi nonverbal adalah proses
komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh
komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi
wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan
sebagainya. Simbol-simbol, serta seperti cara berbicara seperti intonasi
penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.
Bahasa nonverbal merupakan salah satu
bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam presentasi, dimana penyampaiannya
bukan dengan kata-kata ataupun suara tetapi melalui gerakan-gerakan anggota
tubuh yang sering dikenal dengan istilah bahasa isyarat atau body language.
Selain itu juga, penggunaan bahasa nonverbal dapat melalui kontak mata,
penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan penggunaan simbol-simbol.
Menurut Atep Adya Barata mengemukakan
bahwa : “komunikasi nonverbal yaitu komunikasi yang diungkapkan melalui pakaian
dan setia kategori benda lainnya ( the objek language), komunikasi dengan gerak
(gesture) sebagai sinyal (sign language), dan komunikasi dengan tindakan atau
gerakan tubuh (action language).
Para ahli dibidang komunikasi nonverbal
biasanya menggunakan defenisi “tidak menggunakan kata” dengan ketat, dan tidak
menyamakan komunikasi nonverbal dengan komunikasi nonkaghombo. Contohnya,
bahasa isyarat dan tukaghombo tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal
karena mengguanakan kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong
sebagai komunikasi nonverbal. Komunkasi nonverbal juga berbeda dengan
komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun nonverbal.
Dikemukakan beberapa pendapat para ahli
tentang arti atau makna dari simbol-simbol komunikasi sebagai berikut :
1. Onong
Uchjana Effendy (1994) dalam bukunya ilmu komunikasi, teori dan praktek bahwa
peoses komunikasi primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan
seseorang kepada orang lain dakam bentuk lambang (simbol) sebagai media.
Lambang dalam komunikasi primer adalah bahasa, kias, isyarat, gambar, warna,
dan lain sebagainya, yang secara langsung mampu “menterjemahkan” pikiran atau
perasaan komunikator (sender) kepada komunikan (receiver).
2. Bahasa menjadi lambang yang paling banyak
digunakan dalam proses komunikasi merupakan suatu hal yang jelas karena hanya
bahasalah yang dapat “memterjemahkan” pikiran seseorang kepada orang lain
(onong Uchjana Effendy : 1994)
3. Menurut
P. Gauguin and O Redon, Ensiklopedia VI hal 3178 : simbolisme adalah gerakan
baru dalam seni. Dalam hal seni lukis sebagai reaksi terhadap gerakan
naturalism, dimana gerakan naturalis mengutakan gerakan yang sewajarnya atau
sesuai dengan hal-hal yang nyata. Sseorang tidak usah meluliskan kenyataan
secara seksama (naturalis) dan setia warna, bentuk, maupun garis tetapi dapat
menimbulkan berbagai perasaan atau makna simbolis.
4. Menurut
Charles Sanders Peirce (Teori Trikonomi Semiotika Arsitektural) : simbol
merupakan tanda yang hadir karena mempunyai hubungan yang sudah disepakati
bersama atau sudah memiliki perjanjian (Arbit Rary Relation) antara penanda dan
petanda. Soepomo (Halim Et.At; 1979 : 14), mengatakan bahwa seseorang yang
terlibat dalam praktik menggunakan dua bahsa secara bergantian itulah yang
disebut dengan dwibahasawan.
5. Sedangkan
dalam bahasa sign, simbol and arcitekture, Carles Sander Peirce menjelaskan : simbol
adalah suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda
yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks
budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus.
6. Menurut
Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa arcitektur simbolisme merupakan arcitektur yang
sekedar mengejar kenikmatan panggung status sosial dengan menempelkan simbol-simbol
baru pada zamannya dimana tidak jarang merupakan kegiatan plagiatisme.
7. Menurut Carles Sanders Peirce (Teori Trikonomi
Semiotika Arcitektural) : simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai
hubungan yang sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian (Arbit
Rari Relation) antara penanda dan petanda sedangkan dalam sign, simbol and
Arcitekture, Charles Sanders Peirce menjelaskan : simbol adalah suatu tanda
atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang
diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih
spesifik atau lebih khusus.
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai
sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya
berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai
tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain
sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan. Komunikasi bukan hanya sebagai
proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generatio of
meaning).
Berdasarkan uraian di atas dapat saya
simpulkan bahwa symbol dalam komunikasi terbagi dua yaitu pesan verbal dan pesan nonverbal. Di mana pesan verbal adalah proses
penyampaian pesan dengan menggunakan kata-kata dan dipahami suatu komunitas
atau lawan bicara. Sedangkan pesan nonverbal adalah proses penyampaian pesan
tidak menggunakan kata-kata. Komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak
isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata. Simbol adalah suatu
tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks
yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih
spesifik atau lebih khusus.
2.2 Teori Interaksi Simbolik (George Herbert Mead,
1863-1931)
Adapun teori yang saya gunakan dalam
penelitian ini adalah teori interaksi simbolik menurut Geoge Herbert Mead, yang
dimana Geroge Herbert Mead memiliki pemikiran yang mempunyai sumbangan besar
terhadap ilmu sosial dalam perspektif teori yang dikenal dengan interaksionisme
simbolik, yang menyatakan bahwa komunikasi manusia berlangsung melalui
pertukaran simbol serta pemaknaan simbol-simbol tersebut. Mead menempatkan arti
penting komunikasi dalam konsep tentang perilaku manusia, serta mengembangkan
konsep interaksi simbolik.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia :
Simbol (kata
benda) : lambang
Simbolik (adjektif) :
sebagai lambang, menjadi lambang, mengetahui lambang.
Simbolisme : perihal
pemakaian simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide.
Menurut kamus Webster :
Simbolik :
·
Simbol merupakan sebuah objek yang
berfungsi sebagai sarana untuk
mempresentasikan sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung merpati
sebagai simbol kedamaian.
·
Simbol merupakan sebuah tanda, isi yang
singkat menyertai sifat sebuah objek, proses berkualitas, kuantitas, memenuhi
muatan-muatan tertentu. Misalnya, simbol pada konteks bidang musik, kimia,
matematika, dan lain-lain.
Teori interaksi simbolik yang masih merupakan
pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi yaitu sekitar awal abad ke-19 yang
lalu. Sampai akhir teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini,
dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif
interaksional (Ardianto.2007 : 40).
Dalam terminology yang dipikirkan Mead,
setiap isyarat nonverbal dan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan
bersama oleh semua pihak dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol
yang mempunyai arti yang sangat penting.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol
yang diberikan oleh orang lain, demikian pula prilaku orang tersebut. Melalui
pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan,
pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan
oleh orang lain.
Konsep semiotika menurut Charles S.
Pierce bahwa semua cara berpikir bergantung pada penggunaan tanda-tanda. Pierce
berpendapat bahwa setiap pikiran adalah tanda,dan bahwa setiap tindakan
penalaran terdiri dari penafsiran tanda. Manusia hanya berpikir dalam tanda.
Manusia berkomunikasi dalam tanda untuk memahami dan berpikir tentang dunia.
Menurut Pierce untuk memahami sebuah tanda terlebih dahulu harus diamati utnuk
menangkap fungsi dari tanda tersebut reprentatif, interpretative.
Ikon merupakan tanda yang mirip dengan
objek yang diwakilinya atau tanda dan acuannya memiliki kemiripan. Tanda yang
dimiliki cirri-cirinya sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya dalam
pertandingan sepak bola dunia sering kita menjumpai iklan yang memperlihatkan
singa sedang bermain atau menendang bola, singa yang menendang bola merupakan
contoh ikon sepak bola.
Indeks merupakan hubungan tanda dengan
acuannya berdasarkan kedekatan eksistensial dengan kata lain indeks dikaitkan
dengan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya.
Misalnya dalam sebuah jalan terdapat penunjuk jalan menandakan keberadaan
manusia yang sering melewati jalan tersebut. Contoh lain adalah sikat gigi yang
basah. Asap merupakan indeks adanya api.
Simbol adalah hubungan tanda dan acuanya
ditentukan suatu peraturan yang berlaku umum berdasarkan peraturan atau
perjanjian yang disepakati bersama yang bersifat universal. Contoh simbol
lingkaran dengan garis merah menyilang ditengahnya merupakan simbol dilarang
merokok, contoh lain adalah lambang-lambang resmi yang biasa digunakan
perusahaan, produk, lembaga pendidikan, dan lain-lain merupakan simbol superman
didalamnya dengan huruf “S”.
Tanda adalah sesuatu bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam
kaitan atau kapasitas tertentu. Tanda mengarak kepada seseorang, yakni
menciptakan dalam pikiran orang itu suatu tanda lain yang setara, atau bisa
juga suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang tercipta disebut interpretan
dari tanda yang pertama. Suatu tanda yang pertama mewakili sesuatu, yaitu
objek-nya. Tanda yang pertama mewakili objeknya tidak dalam kaitan, tetapi
dalam kaitan suatu gagasan tertentu.
Menurut Charles Sanders Peirce, tanda
adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam suatu
kaitan tertentu. Rada rumit memang, tapi begitulah. Mari kita uraikan defenisi
Peirce itu kedalam bagian-bagiannya.
1.
Defenisi Lambang
Lambang yaitu ilmu yang mempelajari
tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia termasuk bahasa.
2.
Defenisi Simbol
Simbol merupakan sebuah objek yang
berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasekan sesuatu hal yang bersifat
abstrak. Misalnya, burung merpati sebagai simbol ketahanan.
Mrnurut Sanders Peirce (Teori Trikonomi
Semiotika Arsitektural) : simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai
hubungan yang sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian
(Arbitrary relation) antara penanda dan petanda. Sedangkan dalam sign, simbol
and Architecture, Charles Sanders Peirce menjelaskan : simbol merupakan suatu
tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks
yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih
spesifik atau lebih khusus.
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai
sebagai wujud dalam memahami kehidupan manusia melalui kemampuan akalnya
berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai
tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain
sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi bukan hanya sebagai proses,
melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (The Generation Of Meaning).
Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut
memahami maksud pesan kita, kurang lebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat
terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata).
Pesan-pesan yang kita buat, mendorong orang lain untuk menciptakan makna untuk
dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat
dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita
menggunakan sistem tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan
orang lain tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang
lain tersebut, adapun teori semiotika yang diungkapkan para ahli adalah :
Semiotika berasal dari kata Yunani : senion, yang berarti tanda. Dalam
pandangan Piliang, semiotika sebagai metode kajian kedalam berbagai cabang
keilmuan, dimungkinkan karena adanya kecenderungan untuk memandang berbagai
warna sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model
dalam berbagai warna sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh
praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga
dikatakan sebagai tanda. Hal ini diuangkapkan karena luasnya pengertian tanda
itu sendiri.
Kajian semiotika sampai sekarang telah
membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika
signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda
yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi,
yaitu; pengirim, penerima kode (sistem kode), pesan, saluran komunikasi dan
acuan hal yang dibicarakan. Dan semiotika signifikan memberikan tekanan pada
teori tanda dan pemahamannya pada suatu konteks tertentu.
Semiotika atau semiologi merupakan
teknologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak
digunakan dieropa, sedangkan semiotic lazim dipakai oleh ilmuwan amerika.
Istilah yang berasal dari Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam
bahasa inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa,
kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotic didefenisikan sebagai
berikut.
Semiotic biasanya sebagai teori filsafat
umum yang berkenan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian
daris sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotic
meliputi tanda-tanda fisual dan verbal serta tactile dan olfaktory semua tanda
atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indra yang kita
miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis
menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis disetiap kegiatan dan perilaku
manusia.
Dalam teori semiotika, proses perekaman
gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik disebut sebagai representasi.
Secara lebih dapat didefenisikan sebagai penggunaan “tanda-tanda” (gambar, suara,
dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra,
dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik.
Semiotika menurut Burger memiliki dua
tokoh, yakni Ferdinand De Saussure (1857-1913) dan Charles Senders Peirce
(1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah
dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika
Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistic, sedangkan Peirce Filsafat.
Saussure menyebut ilmu yang dikembangkankannya semiologi (semiologi).
Menurut Charles S. Peirce menyebut ilmu
yang dibangunnya semiotika (semiotic). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan
logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia
hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan
semiotika dan semiotika dapat ditetap pada segala macam tanda. Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer dari pada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari
tentang tanda (sign). Berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu
bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu
yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda
tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa,
struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat
disebut benda.
Tujuan utama semiotika media adalah
mempelajari bagaimana media massa menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk
tujuannya sendiri, yaitu; apa yang diamksudkan atau dipresentasikan oleh
sesuatu; bagaimana makna yang digambarkan; dan mangapa memiliki makna
sebagaimana ia tampil.
Menurut Saussure, seperti dikutip
Pradopo (1991 : 54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan. Dimana ada tanda disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud
kata/gambar) dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut signifier,
bidang penanda atau konsep/makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama.
Jadi, penanda merupakan konsep atau yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa penanda
terletak pada tingkatan ungkapan (Level of expression) dan mempunyai wujud atau
merupakan bagian fisik seperti bunyi, kata, gambar, warna. Objek dan
sebagainya. Dan dalam ungkapan Yasraf Amir Pilliang dalam pengantarnya yang
berjudul “memahami tanda komunikasi”, mengatakan:
“sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu
tentang tanda, tentunya semiotika mempunyai prinsip, sistem, aturan dan
prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Akan tetapi pengertian “ilmu”
dan “Ilmu semiotika” tidak dapat disejajarkan dengan “ilmu alam” yang menuntut
ukuran-ukuran matematis yang pasti untuk menghasilkan sebuah pengetahuan
“objektif” sebagai sebuah “kebenaran tunggal”. Semiotika bukanlah ilmu yang
mempunyai sifat kepastian, ketunggalan dan objektifitas macam itu, melainkan
dibangun oleh “pengetahuan” yang lebih terbuka bagi anekan unterpretasi”.
Semiotika merupaka sebuah rana keilmuan
jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka berbagai bentuk pembacaan dan
interpretasi, bukan sebuah “benteng kebenaran”, yang diluar benteng itu
semuanya adalah “musuh kebenaran” semiotika pada kenyataannya adalah ilmu yang
terbuka sebagai interpretasi. Dan kita tau bahwa logika “interpretasi” bukanlah
logika ”matematika”, yang hanya mengenal kategori “benar” dan “salah”. Logika
semiotika adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau
benarnya, melainkan derajat kelogisannya:”interpretasi yang satu lebih masuk
akal dari pada yang lainnya”.
Dengan demikian semiotika merupakan
bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga
semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur
utama yakni: (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda
merupakan sesuatu yang bersifat fisik bisa dipresepsi indra kita,tanda mengacu
pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunaannya
sehingga disebut tanda. Misalnya; mengacungkan jempol pada kawan kita yang
berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini
diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi maka
komunikasi pun berlangsung. Sedangkan menurut para ahli seperti George Herbert
Mead.
George Herbert Mead, dia sangat tekun
dalam mempelajari dan mendalami pemikiran dari Charles Darwin, meskipun dia
bukan termasuk darwinisme sosial yang mana merupakan unsur yang paling penting dalam
perspektif ilmu sosial, tetapi Mead sangat mengagumi konsep tentang evolusi Darwin
karena konsep tersebut dianggap Mead sebagai petunjuk dengan menekankan pada
proses, perubahan, ketidak stabilan dan perkembangan esensi dari sebuah
kehidupan sosial.
Mead menerima prinsip Darwin bahwa
organism terus-menerus terlibat dalam usaha penyesuaian diri dengan
lingkungannya, dan lewat dari peoses inilah karakter dari suatu organisme
mengalami peoses perubahan yang terus-menerus atau dinamis. Pemikiran Mead tentang
teori Darwin adalah bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan
kerangka evolusi dari teori Darwin. Mead melihat bahwa pikiran manusia sebagai
suatu hasil yang muncul melalui proses evolusi yang ilmiah dan pikiran tersebut
akan terus berkembang sejalan dengan dinamika yang muncul serta prosedur yang
telah dilewati.
Selain terpengaruh oleh pemikiran teori
evolusi dari Darwin. George Herbert Mead diilhami oleh para tokoh filsafat dan
psikologi seperti Wiliam James adalah orang pertama yang mengembangkan konsep
“self” diri secara jelas. Menurut James, manusia mempunyai kemampuan untuk
melihat dirinya sebagai objek dan dalam kemampuan itu, manusia bisa
mengembangkan sikap dan perasaan terhadap dirinya sendiri. Ia juga dapat
membentuk tanggapan terhadap perasaan dan sikap tersebut. James mengakui
pentingnya kemampuan dalam membentuk cara pandang seseorang dalam menanggapi
dunia disekitarnya.
Tokoh filosof yang lain yang
mempengaruhi Mead adalah John Dewey yang merupakan pendukung utama pragmatisme.
Dewey memusatkan perhatian pada proses
penyesuaian manusia terhadap dunia. Menurutnya, keunikan manusia muncul dari
proses penyesuaian diri dengan kondisi hidupnya. Dewey menegaskan bahwa yang
unik dalam diri manusia adalah kemampuannya untuk berpikir, konsep Dewey
tentang pikiran sebagai suatu proses penyesuaian diri dengan lingkunganlah yang
mempengaruhi Mead.
Dewey telah menunjukkan bahwa pikiran
timbul dari interaksi dengan dunia sosial. George Herbert Mead terinspirasi
dengan konsep dari dua filosof tersebut dikarenakan mempunyai Mead mempunyai
intensitas kedekatan yang lain cukup sering dengan aliran psikologi khususnya
behaviorisme. Behaviorisme memiliki pandangan bahwa kehidupan manusia harus
dipahami pada kerangka perilaku (behaviour) mereka, dan bukan dari kerangka
siapa dia.
George Herbert Mead tidak memahami
behaviorisme sekedar mereduksi hubungan sosial sebagai rumus stimulus dan
respon, melainkan Mead menjelaskan dalam konteks yang lebih luas dari pada itu.
Gagasan Mead mengenai hal tersebut dalam pandangan para filosof dikatakan
sebagai pragmatisme, karena bagi George Herbert Mead pragmatism berhasil
melihat organisme sebagai ciptaan yang berhubungan dengan kondisi dunia yang
paling terkini, karena mereka akan berinteraksi akan menyesuaikan keadaan yang
ada.
Mead mengatakan bahwa behaviorisme sosial
didalamnya terdapat semacam loncatan dari investigasi ilmiah. Maksudnya adalah
bahwa metode yang ditemukan tidak hanya mampu melakukan observasi perilaku yang
terang dan jelas, tetapi juga dapat mengobservasi perilaku yang tidak jelas
yang keduanya tersebut dapat diketahui dengan melalui metode introspeksi.
Selain itu, George Herbert Mead
dipengaruhi oleh Max Weber dengan teorinya tentang interaksi dan tindakan. Max
Weber dalam teori ini mengemukakan bahwa masyarakat hanya merupakan satu nama
yang menunjuk pada sekumpulan individu, dan menurut Max Weber konsep fakta sosial
seperti struktur sosial. Kelompok sosial yang lebih dari sekedar individu dari
perilakunya dianggap sebagai abstraksi spekulatif tanpa dasar empiric, sehingga
Max Weber menginterpretasikan individu dari tindakannya sebagai tindakan dasar
atau sebagai “otorinya”.
Max Weber mengemukakan bahwa antara
individu yang satu dengan individu yang lainnya berinteraksi satu sama lain
diwujudkan dengan adanya suatu tindakan maupun perilaku. Namun tidak semua
tindakan ataupun perilaku individu adalah suatu manifestasi yang rasional.
Rasionalis hadir dalam diri seorang individu dengan terlebih dahulu melewati
proses pemikiran, dimana makna sebuah pemikiran adalah sesuatu yang penting
dalam mengerti manusia dimana pemilikan karakter-karakter ini membuat esensi
berbeda dengan perilaku binatang. Dan Max Weber membuat klasifikasi tentang
tipe-tipe tindakan sosial dengan menggunakan konsep dasar “rasionalisme” yaitu
ada tindakan yang rasional dan non rasional. Menurut Weber, tindakan rasional
dihubungkan dengan kesadaran dari pilihan bagaimana tindakan tersebut
direalisasikan. Rasionalitas yang dikemukakan oleh Max Weber lebih dibawa
ke-arah suatu lembaga atau structural, meskipun selanjutnya rasionalitas yang
dikembangkan Mead berdasar dari konsep Weber ini lebih di bawa ke-arah individu
dan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan dari keseluruhan konsep
serta hasil dari tokoh-tokoh tersebut George Herbert Mead dapat mengemukakan
konsep tentang interaksionisme simbolik yang merupakan pengembangan dari
konsep-konsep tersebut.
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead,
defenisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
a. Mind
(pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol dan makna sosial yang sama,
dimana setiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi
dengan individu lain.
b. Self (diri pribadi) – kemampuan untuk
merefleksikan diri setiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat
orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah satu cabang dalam teori
sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya.
c. Society (masyarakat) – hubungan sosial yang
diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh setiap individu ditengah
masyarakat, dan setiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka
pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam
proses pengambilan peran ditengah masyarakatnya.
Mead mengamati bahwa bahasa orang
mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dunianya sendiri.
Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita mengamati diri kita sendiri
bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang bertindak sebagai I. Sementara objek atau diri yang
mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsive dan kreatif,
sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar jalan-jalan malam,
sementara Me mungkin lebih
berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diri
adalah sebuah proses yang mengintegrasikan I
dan Me. Tertib masyarakat didasarkan
pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses
komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role
taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind),
yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.
Konsep diri menurut George Herbert Mead
pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atau pertanyaan “siapa aku”. Konsep
diri terdiri dari hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kesadaran diri merupakan
hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu itu
melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari titik
pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat George
Herbert Mead tentang pikiran, menyatakan bahwa pikiran mempunyai corak sosial,
percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain”
didalam aku. Untuk itu dalam pikiran saya memberi tanggapan kepada diri saya
atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada saya.
Diri (Self) diartikan sebagai suatu
konsep individu terhadap dirinya sendiri dan konsepsi orang lain terhadap
dirinya. Konsep tentang “diri” dinyatakan bahwa individu adalah subjek yang
berperilaku dengan demikian maka dalam “diri” itu tidaklah semata-mata pada
anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan defenisi-defenisi orang
lain saja. Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang bertindak ditunjukan
dengan konsep “I” dan diri sebagai
objek ditunjuk dengan konsep “Me” dan
Mead telah menyadari determinisme soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu
keberat sebelahan dengan membedakan didalam “diri” antara dua unsur
konstitutifis yang satu disebut “Me”atau
“daku” yang lain “I” atau “Aku”. Me
adalah unsur sosial yang mencakup generalized other. Teori George Herbert Mead
tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu “I” (aku) dan “Me” (daku)
itu sangat rumit untuk dipahami.
Mead berargumen bahwa interaksi
mengambil didalam sebuah struktur sosial yang dinamis_budaya, masyarakat dan
sebagainya. Individu-individu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead
mendefenisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan
manusia. Individu-individu terlibat dalam masyarakat melalui perilaku yang
mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan
keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh
individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi diciptakan dan
dibentuk oleh individu.
Tiga tema konsep pemikiran George
Herbert Mead yang mendasari interaksi smbolik antara lain :
1.
Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
Tema ini berfokus pada pentingnya
membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik
tidak bisa dilepaskan dari peoses komunikasi karena awalnya makna itu tidak
ada. Artinya, sampai pada akhirnya dikonstruktif secara interpretif oleh
individu melalui peoses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat
disepakati secara bersama. Dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai barikut :
manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan
orang lain kepada mereka, maka diciptakan dalam interaksi antar manusia, makna
dimodifikasi melalui proses interpretif.
2.
Pentingnya konsep mengenai diri (self
concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan
konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, berdasarkan pada interaksi sosial
dengan orang lainnya antara lain : individu-individu mengembangkan konsep diri
melalui interaksi dengan orang lain, konsep diri membentuk motif yang penting
untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : “the departicular
kind off role thingking-imagine how welook to another person” or “hability to
see our selfvest in the reflection off another glass”.
3.
Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema ini berfokus pada hubungan antara
kebebasan individu dan masyarakat, Dimana norma-norma sosial membatasi perilaku
tiap individunya, tetapi pada akhirnya tiap indivulah yang menentukan pilihan
yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk
menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema
ini adalah : orang dan kelompok-kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses
budaya dan sosial, struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan
interaksi simbolik. Dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi
dua mahzab, dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu:
1. Mahzab
cicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer : Blumer memberikan pengembangan
dalam pikiran-pikiran Mead menjadi 7 buah asumsi yang mempelopori pergerakan
mahzab cicago baru.
Manusia bertindak terhadap orang lain
berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, maka diciptakan dalam
interaksi antar manusia, makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang
lain, konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku, orang dan
kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, struktur sosial
dihasilkan melalui interaksi sosial.
2. Mahzab
jowa yang dipelopori oleh manford kuhn dan kingbal young
Mahzab
jowa dipelipori oleh manford Kuhn dan mahasiswanya, dengan melalukan pendekatan
kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut ritual epistemoligi dan
metodologi. Positif yang mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak
terdapat pada teori sebelumnya, yaitu menjelaskan konsep diri menjadi bentuk
yang lebih konkrit.
Tokoh teori interaksi simbolik antara
lain : George Herbert Mead, Herber Blumer, Wilyam James, Charles Horton,
Cooley. Teori simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi simbol.
Manusia berinteraksi dengan orang lain dengan cara menyampaikan simbol yang
lain.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa
semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah
satunya diantaranya mengasumsikan adanya enam factor dalam komunikasi, yaitu:
pengirim, penerima kode (sistem kode), pesan, saluran komunikasi dan saluran
hal yang dibicarakan. Istilah semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan amerika.
Tujuan utama semiotika media adalah mempelajari bagaimana media massa
menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri, yaitu: apa yang
dimaksud atau dipresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna digambarkan dan
mengapa memiliki makna sebagaimana ia tampil.
Interaksi simbolik merupakan interaksi
antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, berinteraksi satu sama
lain diwujudkan dengan adanya suatu tindakan maupun perilaku. Tindakan tersebut
sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang mendasari teori ini yaitu: Mind
(pikiran) merupakan kemampuan untuk menggunakan simbol dan makna sosial yang
sama, dimana setiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui
interaksi dengan individu lain. Self
(diri pribadi) merupakan kemampuan untuk merefleksikan diri setiap
individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori
interaksionisme simbolis adalah satu cabang dalam teori sosiologi yang
mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Dan
society (masyarakat) merupakan hubungan
sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh setiap individu
ditengah masyarakat, dan setiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang
mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran ditengah masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan
bahwa subjek atau diri yang bertindak sebagai I. Sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I
bersifat spontan, impulsive dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka
secara social.
2.3
Kerangka Pikir
Melihat simbol
sebagai obyek sosial dalam suatu interaksi, maka digunakan sebagai perwakilan
dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, orang
tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah obyek fisik (benda-benda),
kata-kata (untuk mewakili obyek fisik, perasaan, ide-ide, dan makna), serta
tindakan yang dilakukan untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang
lain, Soeprapto (2001:34).
Pada dasarnya
segala bentuk-bentuk ritual yang dilaksanakan oleh manusia adalah sebuah bentuk
simbolisme, maksud dan makna ritual itulah yang menjadi tujuan manusia. Untuk
memperingatinya dengan demikian, fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui
makna simbolik ritual Kaghombo (Kaghombo)
dalam kebudayaan suku Muna. Makna simbolik yang terdapat pada proses
pelaksanaan adat Muna, bisa menjadi sebuah pedoman hidup dalam tatanan
kehidupan sosial masyarakat suku Muna.
Permasalahan
makna simbolik dalam penelitian ini akan dibedah dengan teori interaksinal
simbolik. Menurut George Herbert Mead (1863-19310), bahwa komunikasi manusia
berlangsung melalui pertukaran simbol serta pemaknaan simbol-simbol. teori ini
membahas tentang suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia yakni
melakukan komunikasi atau pertukaran simbol baik secara verbal maupun non
verbal yang diberi makna dalam proses interaksi simbolik yang terjadi diantara
manusia satu dengan manusia lainnya. Lebih jelasnya kerangka pikir dapat
dilihat pada skema berikut ini.
BAGAN
KERANGKA PIKIR
Ritual Kaghombo
sebagai Interaksi Simbolik dalam Masyarakat Suku Muna
|
Teori
Interaksi Simbolik
George
Herbert Mead (1863-1931)
Teori
Semiotika
Charles
Sanders Peirce (1939-1914)
|
Simbol Non Verbal
|
Simbol-sinbol Pada Tahap Pelaksanaan
Ritual Kaghombo (Adat Muna)
-
Kafoluku (Pemasukan)
-
Kabhansule (Perubahan Posisi)
-
Kalempagi (Pembukaan)
-
Kafosampu (Pemindahan)
-
Katandano Wite (Penyentuhan
Tanah)
-
Tari linda
-
Kaghorono bansa
|
Pergeseran Ritual Kaghombo (Adat Muna)
-
Proses Terciptanya ritual kaghombo
-
Konteks Pertunjukkan
-
Pelaku Ritual Kaghombo
-
Kostum
-
Perlengkapan ritual kaghombo
-
Penonton
|
Makna
Simbolik Ritual Kaghombo (Pingitan)
Adat
Suku Muna
|
Sumber : Hasil Modifikasi Penulis
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di Desa Lagadi, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna dengan pertimbangan
bahwa, di Desa ini masih melaksanakan Ritual Kaghombo, masih ada pomantoto dan
masyarakat masih meyakini bahwa ritual kaghombo
masih tetap berfungsi dalam kehidupan mereka, namun tahapan pelaksanaannya tidak lagi menjadi
sakral. Artinya, pelaksanaan ritual haghombo hanya dianggap sebagai aturan yang
harus dilaksanakan oleh orang tua terhadap anaknya. Generasi muda yang sudah
terpengaruh dengan kemajuan informasi dan teknologi serta perkembangan zaman,
tidak lagi mengetahui nilai-nilai dalam ritual
kaghombo yang menjadi bagian dari siklus kehidupan masyarakat Muna.
3.2
Informan
Penelitian
Informan yang
dipilih dalam penelitian ini adalah para tokoh adat/agama, tokoh masyarakat dan
pomantoto. Dengan jumlah informan 6 (enam) orang yang di temukan secara sengaja
(purposive sampling). Dengan
pertimbangan dapat memberikan keterangan sehubungan dengan ritual kaghombo yang mengacu pada Spradley
dalam Endraswara (2003:207) yang menjelaskan bahwa informan yang baik adalah
mereka yang terlibat langsung dalam kebudayaan yang memiliki waktu dan
wawancara.
Yang menjadi
informan inti adalah orang yang mengetahui betul mengenai ritual kaghombo yang ada di Desa Lagadi yaitu,
tokoh adat/agama (La Engko), tokoh masyarakat (Nurdin, Mutiara), pomantoto
(Waode Musa). Sedangkan yang menjadi informan pokok adalah orang tua gadis yang
dikaghombo yaitu Ibu Wa Ndoapa dengan Bapak La Ghanta.
3.3
Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Penentuan informan ini
berdasarkan populasi yang sesuai dengan karakteristik penelitian yaitu dengan
sengaja memilih informan yang dianggap kapabel dan mampu memberikan informasi
yang sesuai dengan kajian penelitian.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan
data-data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian langsung
dilapangan yaitu dengan memperoleh data dan informasi dari lokasi penelitian.
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan oleh penulis ada dua cara yaitu sebagai berikut:
1.
Pengamatan (Observation) yakni
pengumpulan data dengan mengoreksi dan mencatat dengan sistematis
fenomena-fenomena yang diselidiki baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pada pengamatan ini melihat secara langsung obyek dari penelitian. Adapun
hal-hal yang di amati adalah gadis-gadis yang di Kaghombo, tamu yang secara
langsung datang menyaksikan prosesi Kaghombo, pihak-pihak yang terlibat pada
saat Kaghombo dilaksanakan, hal-hal yang di lakukan dalam setiap tahapan dalam
ritual Kaghombo, benda-benda maupun bahan-bahan yang digunakan pada saat
pelaksanaan Kaghombo.
2.
Wawancara yakni teknik pengumpulan data
dengan mengadakan wawancara langsung dengan sejumlah informan yang mengetahui,
orang tua dan gadis yang melaksanakan Kaghombo. Apakah dalam Kaghombo di Desa
ini ada pembagian tahap disetiap pelaksanaan Kaghombo tersebut, bagaimana
proses Kaghombo, mengapa masih dilaksanakan Kaghombo, apa saja bahan dan alat
yang digunakan, apakah makna atau simbol ada perubahan dari setiap bahan dan
alat yang digunakan, manfaat yang akan
diperoleh dari gadis yang telah di Kaghombo, makna apa saja yang terkandung
dalam Kaghombo.
3.
Studi pustaka yakni dengan membaca dan
mempelajari buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan masalah penelitian,
guna memperoleh dasar teoritis yang akan digunakan dalam pembahasan sekaligus
sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini.
4.
Dokumentasi
yaitu peneliti mengumpulkan kegiatan penelitian untuk menggambarkan kegiatan yang
dilakukan selama penelitian.
3.3
Teknik
Analisis Data
Data yang di
peroleh dari hasil pengamatan dan wawancara mendalam yang menyangkut Kaghombo,
dengan menganalisis data secara sistematis dan intensif terhadap catatan
lapangan, hasil wawancara dengan perbandingan yang konstan data yang terkumpul
diberi kode lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik. Diantara
ketiga macam pengkodean dari analisis, peneliti memilih salah satu dari
pengkodean tersebut yaitu pengkodean terbuka.
Pengkodean
terbuka merupakan analisis yang secara khusus mengenai penamaan dan
pengkategorian fenomena melalui pengkajian secara teliti terhadap data kemudian
data di kelompokan kedalam bagian-bagian terpisah, diselidiki secara cermat,
dibandingkan persamaan dan perbedaannya diajukan pertanyaan tentang fenomena
yang tercermin dalam data (Endraswara, 2003:17) adapun data yang dianalisa
merupakan data tentang eksistensi dan perkembangan dari Kaghombo itu sendiri.
3.4 Desain Operasional Penelitian
Unit
Analisis
|
Struktur Analisis
|
Teknik Pengumpulan data
|
1. Simbol-simbol
Komunikasi Pada Ritual Kaghombo
a. Kafoluku
(Pemasukan)
b. Kabhansule
(Perubahan Posisi)
c. Kalempagi
(Pembukaan)
d. Kafosampu
(Pemindahan)
e. Katandano
Wite (Penyentuhan Tanah)
f. Tari
Linda
g. Kaghorono
Bansa
2. Pergeseran
Ritual Kaghombo
a. Kontes
Pertunjukkan
b. Pelaku
Ritual Kaghombo
c. Kostum
d. Perlengkapan
Ritual Kaghombo
e. Penonton
|
Menganalisis secara deskriptif mengenai simbol-simbol ritual kaghombo
a. Menganalisis
pengertian kafoluku
b. Menganalisis
pengertian kabhansule
c. Menganalisis
pengertian kalempagi
d. Menganalisis
pengertian kafosampu
e. Menganalisis
pengertian katandano wite
f. Menganalisis
pengertian tari linda
g. Menganalisis
pengertian kaghorono bansa
Menganalisis
secara deskriptif mengenai pergeseran
ritual kaghombo
a. Menganalisis
secara deskriptif tentang konteks
pertunjukkan
b. Menganalisis
secara deskriptif tentang pelaku
ritual kaghombo
c. Menganalisis
secara deskriptif tentang kostum
d. Menganalisis
secara deskriptif tentang perlengkapan
ritual kaghombo
e. Menganalisis
secara deskriptif tentang penonton
|
Observasi dan Wawancara
Observasi dan Wawancara
|
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1
Gambaran Umum Desa Lagadi
Desa lagadi merupakan salah satu desa yang berada
pada wilayah kecamatan Lawa. Desa Lagadi di bentuk pada tahun 1998 sebagai
hasil pemekaran dari Desa Sawerigadi. Pemekaran yang dilakukan pada tahun 1998
tersebut dilakukan untuk meningkatkan efektifitas kerja wilayah pedesaan dalam
proyek inpres desa tertinggal. Desa ini dipimpin oleh masyarakat pilihan yang
mendapat persetujuan dari kepala kecamatan Lawa.
Adapun pejabat Desa
sejak berdirinya Desa Lagadi adalah :
1. Laode Alimuddin Tahun
1998 - 2013
2.
Laode Buldinal Muslim, S.sos Tahun
2013 - Sekarang
Kepemimpinan yang berlangsung sejak
tahun 1999 hingga tahun sekarang telah memberikan kontribusi bagi pembangunan Desa
Lagadi dalam berbagai aspek seperti pembangunan gedung sekolah, gedung
puskesmas, dan kantor Desa (Balai Pertemuan Desa).
a.
Letak,
Luas Wilayah dan Keadaan Geografis
Desa Lagadi merupakan salah satu Desa di Kecamatan Lawa
yang baru saja di mekarkan dari Desa Sawerigadi tahun 1998 yang lalu. Desa ini
terletak ± 23 KM dari ibu kota Raha.
Adapun batas-batas atau letak wilayah Desa Lagadi setelah
pemekaran, yakni :
1. Sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Sawerigadi.
2. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Madampi
3. Sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Kontunaga
4. Sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Latugho
Luas wilayah Desa Lagadi sebelum
pemekaran adalah kurang lebih 1.498,4 Hektar. Dari luas wilayah tersebut secara
tata guna tanah Desa Lagadi terbagi atas jalan, bangunan umum, pemukiman,
perkuburan, perkantoran, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya dari masing-masing
pemanfaatan wilayah Desa Lagadi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel
2. Luas wilayah Desa Lagadi berdasarkan pemanfaatannya:
No
|
Luas
wilayah
|
Ha
|
Persentase
(%)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Pemukiman
penduduk
Perkebunan
Perkantoran
Perkuburan
Hutan
Sekolah
Lain-lain
|
73
280
0,10
3,0
20
3
-
|
20,6
79,3
0,03
20
5,66
0,84
|
|
Jumlah
|
353,18
|
100
|
Sumber : Kantor Desa Lagadi 2014
Tabel diatas menunjukan bahwa desa
lagadi memiliki lahan yang harus diolah untuk pengembangan sector pertanian,
namun tenanga kerja dan kapabilitas sumber daya manusia belum dimanfaatkan
secara optimal, dalam hal ini baru 56,4 Ha yang terolah untuk kebutuhan masyarakat,
antara lain untuk pemukiman seluas 73 Ha atau 20,6%, perkebunan 280 Ha atau
79,3%, perkantoran 0,10 Ha atau 0,03%, perkuburan 3,0 Ha atau 20%, hutan 20 Ha
atau 5,66%, sekolah 3 Ha atau 0,84%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Desa
Lagadi masih terdapat lahan-lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian dan
batuan digunakan sebagai bahan masukan Desa Lagadi.
b. Keadaan Penduduk Desa Lagadi
Penduduk merupakan faktor potensial
dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan. Jumlah penduduk sangat mempengaruhi
kemampuan aparat dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam memberikan
pelayanan kepentingan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Penduduk Desa lagadi
sebelumnya dimekarkan 1.984 jiwa dan setelah pemekaran jumlah penduduk otomatis
berkurang dalam artian sebagian penduduk masuk dalam wilayah Desa Sawerigadi,
adapun jumlah penduduk di Desa Lagadi 895 jiwa dengan 197 kepala keluarga.
Keadaan penduduk Desa Lagadi dapat digambarkan pada tabel berikut :
Tabel
3. Jumlah penduduk Desa Lagadi berdasarkan umur dan jenis kelamin
Kelompok
Umur (Tahun)
|
Jenis Kelamin
|
Total Penduduk (Jiwa)
|
Persentase (%)
|
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
|||
00-04
05-09
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60 keatas
|
25
44
23
50
42
53
50
51
48
15
26
12
3
|
37
41
29
50
47
41
50
50
54
19
17
21
3
|
62
85
52
100
86
94
100
111
102
34
43
33
6
|
6,4
8,7
5,3
11,17
9,1
10,50
11,17
12,40
10,5
3,5
4,4
3,4
0,63
|
Jumlah
|
442
|
453
|
895
|
100
|
Sumber
: Kantor Desa Lagadi 2014
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa
jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 442 orang, sedangkan
penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 495 orang.
c. Mata Pencaharian Penduduk Desa
Lagadi
Berdasarkan hasil observasi dan
dokumentasi pihak Desa, sebagian besar penduduk Desa Lagadi bermata pencaharian
sebagai petani dan selebihnya PNS, pensiunan dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya
maka dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel
4. keadaan mata pencaharian penduduk Desa Lagadi
No
|
Mata Pencaharian
|
Jumlah (Jiwa)
|
Persentase (%)
|
1.
2.
3.
4.
|
Petani
PNS
Pensiunan
Pedagang
|
183
10
3
20
|
70.93
4.62
1.38
9.25
|
|
Jumlah
|
216
|
100
|
Sumber : Kantor Desa Lagadi 2014
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan
bahwa sebagian besar penduduk Desa Lagadi bermata pencaharian sebagai petani
yaitu sebanyak 183 jiwa atau 70,93 %, PNS sebanyak 10 jiwa atau 4,63 %,
pensiunan sebanyak 3 jiwa atau 1,38 %, pedagang 20 jiwa atau 9,25 %.
Jumlah penduduk yang memiliki mata
penacaharian tersebut sebanyak 216 jiwa atau 24,13 %, tergolong dalam penduduk
usia produktif, sedangkan selebihnya yaitu 679 jiwa atau 75,86 %.tidak memiliki
pekerjaan, mereka ini adalah umumnya penduduk yang masih usia sekolah dan ibu
rumah tangga.
d. Bidang Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
proses pembangunan. Keberhasilan proses pembangunan dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar
partisipasinya karena semakin besar pengetahuan tentang suatu kewajiban bagi
kepentingan sebuah pembangunan. Tingkat pendidikan masyarakat Desa lagadi
manunjukkan tingkat kemajuan masyarakat dipengaruhi oleh kemampuan pola pikir
atau pengetahuan masyarakat untuk mengelola apa yang disekelilingnya.
Sehubungan dengan tingkat pendidikan masyarakat Desa Lagadi maka dapat dipilah
pada tabel berikut :
Tabel 5. Keadaan
tingkat pendidikan penduduk Desa Lagadi
No
|
Pendidikan
|
Jumlah (Jiwa)
|
Persentase (%)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
|
Belum sekolah
Sementara sekolah
Buta aksara
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Sarjana
Sarjana muda/Diploma
|
147
182
92
125
56
84
80
37
16
|
15,09
18,67
10,27
12,84
6,3
9.39
8,93
3,8
1,79
|
|
Jumlah
|
819
|
100
|
Sumber
: Kantor Desa Lagadi 2014
Berdasarkan table bidang pendidikan di
atas bahwa sarana pendidikan yang ada di Desa ini hanya 1 unit Sekolah Dasar
(SD) dan 1 unit Sekolah Menengah Pertama (SMP), dengan jumlah guru SD 9 orang
dan guru SMP sebanyak 10 orang. Masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan
kejenjang yang lebih tinggi harus menuju
ke Desa lain ( terutama kelurahan Wamelai) dan pada umumnya di tempuh dengan
angkutan umum.
Adapun penduduk yang tidak/belum
menikamati pendidikan formal seperti yang dikemukakan serta kejar usaha
sehingga sebagian besar diantaranya telah dapat membaca huruf latin dan angka
serta berbahasa Indonesia.
e. Bidang Agama dan Adat Istiadat
Seluruh penduduk yang ada di Desa Lagadi beragama
Islam. Adapun sarana yang dimiliki dalam rangka pelaksanaan ibadah bagi umat
islam adalah 1 buah masjid. Di samping itu dalam rangka peningkatan pemahaman
masyarakat terhadap ajaran islam dan pemberantasan buta baca Al-Qur’an, maka
penduduk aktif mengadakan pengajian melalui taman pengajian Al-Qur’an (TPA)
yang ada di Desa ini.
Dalam hal adat-istiadat, nampaknya
masyarakat di Desa Lagadi cenderung memegang
musyawarah yang merupakan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia masih tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat Desa
Lagadi. Dari segi etnis, penduduk Desa Lagadi terdiri dari etnis Muna yang
merupakan etnis mayoritas yaitu sebanyak 895 jiwa.
f. Sarana Kesehatan dan Sarana Umum
Kesehatan merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan suatu bangsa dalam upaya membangun masyarakat sehat
dan sejahtera. Untuk membangun masyarakat yang sehat dan sejahtera perlu
didukung sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Kondisi kesehatan
masyarakat Desa Lagadi semakin membaik dari waktu ke waktu, hal ini karena
dimungkinkan karena adanya dukungan sebagai sarana dan fasilitas yang selalu
siap memberikan pelayanan terhadap masyarakat terutama posyandu. Disamping itu,
kesadaran masyarakat dalam berprilaku sehat yang merupakan pendukung dalam
perbaikan kondisi kesehatan masyarakat Desa ini.
g. Kondisi Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dengan
aparat keamanan bahwa kondisi keamanan dan ketertiban di Desa ini cukup baik dan
terkendali. Hal ini terwujud karena ditunjang oleh beberapa faktor antara lain
yaitu adanya perangkat pertahanan sipil (HANSIP) sebanyak 6 orang yang
dilengkapi dengan pos kamling sebanyak 2 bauh. Disamping itu, yang paling
penting adalah adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan ketertiban sebagai
tugas bersama. Hal ini terbukti dengan keberhasilan pelaksanaan pengembangan,
sebab pada prinsipnya tampak kondisi yang aman dan kondusif dalam masyarakat,
maka pembangunan berjalan dengan baik.
h. Struktur Organisasi Pemerintahan
Desa Lagadi
Struktur organisasi adalah gambaran yang
menunjukan hubungan tugas/pekerjaan dalam organisasi dan mengatur batas
wewenang dan tanggung jawab dalam setiap lembaga dan instansi.
Berdasarka undang-undang no. tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, maka keluarlah keputusan Menteri dalam Negeri no. 18 tahun
2000 yang menerapkan susunan organisasi pemerintahan kelurahan sebagai berikut:
-
Kepala Desa
-
Sekretaris Desa
-
Kaur Desa (Perangkat Desa)
-
Badan Pemerintah Daerah
Sesuai dengan struktur organisasi
tersebut, maka kedudukan, tugas, dan fungsinya sebagai berikut :
1. Kepala
Desa
-
Kedudukan
Kepala Desa adalah alat
pemerintah yang berada dibawah Camat dan dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab kepada Bupati kepala daerah tingkat II melalui Camat.
-
Tugas
Kepala Desa mempunyai
tugas sebagai penyelenggara dan penangung jawab utama dibidang pemerintahan,
pembangunan dan pemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintah
daerah, urusan pemerintah umum termasuk pembinaan dan ketertiban.
-
Fungsi
Kepala Desa mempunyai
fungsi sebagi berikut :
a. Menyelenggarakan
partisipasi masyarakat
b. Melaksanakan
tugas dan perintah atasannya
c. Melaksanakan
kordinasi terhadap jalannya pemerintahan desa
d. Melaksanakan
tugas yang menjadi tanggung jawab dibidang pembangunan
e. Melaksanakan
tugas-tugas dalam rangka pembinaan dan ketertiban
2. Sekretaris
Desa
-
Tugas
Sekretaris Desa
mempunyai tugas menyelenggarakan pembinaan administrasi pemerintahan desa dan
memberikan pelayanan staf kepada Desa.
-
Fungsi
Sekretaris Desa
mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Melaksanakan
urusan surat menyurat, kearsipan, membuat program dan laporan
b. Memimpin
dan mengawasi semua kegiatan-kegiatan, kepala-kepala urusan, menyiapkan rapat,
menyusun rencana keuangan.
3. Kaur
Desa (Perangkat Desa)
a. Kepala
seksi pemerintahan, mempunyai tugas melaksanakan administrasi penduduk dan
pelayanan masyarakat.
b. Kepala
seksi pembangunan, mempunyai tugas melaksanankan administrasi pembangunan,
pencatatan hasil swadaya masyarakat.
c. Kepala
seksi keuangan, mempunyai tugas melaksanakan administrasi keuangan.
d. Kepala
seksi umum, mempunyai tugas menerima dan mengedarkan surat-surat masuk dan
keluar serta melaksanakan tata usaha kearsipan, pengetikan surat menyurat.
4. Badan
Pemerintah Daerah
Badan
pemerintah daerah, mempunyai tugas menjalankan kegiatan-kegiatan kepala desa
sesuai dengan wilayah kerjanya dan kedudukannya sebagai unsur pelaksanaan tugas
kepala desa dalam wilayah kerjanya antara lain :
a. Melaksanakan
kegiatan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman dan
ketertiban wilayahnya.
b. Melaksanakan
keputusan desa diwilayah kerjanya
c. Melaksanakan
segala kebijakan kepala desa.
4.1.2
Simbol-simbol
Komunikasi Pada Tahap Pelaksanaan Ritual Kaghombo
Pelaksanaan kegiatan inti upacara kaghombo
terletak pada proses penempaan para gadis/perempuan untuk melewati empat
alam seperti yang sebutkan sebelumnya yakni alam arwah, alam misal, alam aj‟sam
dan alam insane Proses pemindahan dari satu alam ke alam yang lain hingga
manusia dilahirkan bagai kertas putih polos dan suci, dapat digambarkan dari
tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
4.1.2.1
Kafoluku
Kafoluku adalah proses dimasukkannya para perempuan
yang akan menjalani upacara kaghombo
dalam tempat yang telah dibuat secara khusus. Tempat tersebut dikenal oleh
masyarakat Muna dengan sebutan songi.
Hal ini mengandaikan anak manusia kembali ke alam arwah yang gelap gulita.
Sebelum dimasukkan terlebih dahulu dimandikan dengan dua jenis air yang telah
didoakan oleh imam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
Gambar
1. Pembacaan doa oe modaino yang dilakukan oleh pomantoto (imam perempuan). (Sumber: Dok.
Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 04 agustus 2014)
Adapun
doa yang dibaca pada saat dibuat oe kakadiu balano khususnya oe modaino dan oe
metaano. Doa atau bhatata yang di ucapkan untuk oe modaino adalah sebagai
berikut:
“A wa laisal ladzi khalqas
samaawatiwal ardha biqaadirin a laa ay yakhluqa mitslahum, balaa, wahuwal khallaaqul‟alim, innamaa amruhuu
idzaa araada syai-an, ay yaquula lahuu kun fayakun, fa subhaanal ladzi bi
yadihii, malakuutu kulli syai-iw wa ilaihi turjau‟un.”
Artinya : “Dan bukankah
Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi berkuasa menciptkan serupa dengan
itu? Benar, dia pencipta lagi maha mengetahui, sesungguhnya apabila Dia
menghendaki sesuatu. Dia berkat kepadanya jadilah maka jadilah ini. Maka maha
suci di tangannya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepadanya lah kamu
dikembalikan”. (hasil wawancara dengan Waode Musa, 60 tahum pada hari Senin, 04
Agustus 2014).
Kedua
jenis air yang dibacakan oleh pomantato (imam perempuan) memiliki arti tersendiri
bagi kalambe wuna yang akan dimandikan. Oe modaino
merupakan air yang telah didoakan
dengan pomantoto untuk menolak bala
(segala kejahatan) yang tidak menutup kemungkinan akan menimpa para
perempuan yang dikaghombo. Saat dimandikan pomantoto dan para perempuan
menghadap kansoopa (sebelah barat) dan
menepuk air yang dituangkan oleh pomantoto dengan menggunakan tangan kiri
sebanyak tiga kali. Sedangkan oe
metaano adalah air yang telah dibacakan
doa oleh imam yang bertujuan permohonan kepada Tuhan agar mendapat ridho dari
Yang Maha Kuasa. Air kedua ini harus disisakan dalam termos yang kemudian
dimasukkan cincin. Air yang disisakan di dalam termos harus dighombo atau
diperam selama dua malam bersama para perempuan untuk dipakai pada saat kafolego. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:
Gambar
2: Kakadiu (proses pemandian sebelum acara kafoluku). (Sumber: Dok.
Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 04 Agustus 2014)
Dari gambar di atas tampak pomantoto (imam
perempuan) menyiramkan oe metaano dengan menepuk air sebanyak tiga kali. Cara
memandikannya hampir sama dengan oe
modaino dan oe metaano, lebe atau pomantoto memerintahkan untuk menghadap ke
sebelah timur dan barat. Bunyi perintahnya seperti ini. “doliimu te mata gholeo” darumambiaene kema tolu paku oe so meeno
neghulunto ini” dan sebaliknya saat menghadap sebelah kanan, bunyi perintahnya
“aitu, da dumoli ane we kansoopa” pedatora aniini, darumambiaene suana tolu
paku oe kakadiu neghulunto ini”.
Proses
kafoluku juga ditandai dengan pembacaan doa haroa yang dipimpin oleh imam.
Ritual ini dilakukan sebagai bekal para perempuan dalam songi yang
masing-masing diberi makan sesuai dengan takaran yang telah ditentukan oleh
pomantoto. Pomantoto memberi
masing-masing satu buah ketupat dan satu biji telur rebus yang sudah dibacakan
doa.
Gambar 3.
Kabasano haroa dilakukan setelah
proses kakadiu. (Sumber:Dok Ismul azam, di desa Lagadi,
Tanggal 04 Agustus 2014)
Gambar 4.
Tampak kalambe wuna yang akan dikaghombo diberikan makan sesuai ketentuan yang telah
ditetapkan. (Sumber: Dok. Ismul
azam di desa Lagadi. Tanggal 04 Agustus
2014)
Adapun mantra
(bhatata) yang dibaca pada saat pemberian makan
(kakunsi) adalah sebagai berikut:
“Alhamdulilaahi
rabbilaalamiin, arrahmaanir rahiim, malalikiyaumiddiin, iyyakaana‟budu wa
iyyaakanasta‟iin, ihdinnash shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an‟amta
alaihim ghairil maghdhuubi‟alaihim wa ladhdhaalliin a kunsi barakunsi kunsi
alam, kunsi barakati, bismillah. Allahumma saydinna muhammad wa alaali saydinna
Muhammad”.
Artinya : “Dengan menyebut nama
Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam. Maha pemurah lagi maha penyayang. Yang menguasai hari pembalasan.
Hanya kepada Engkau lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau lah kami mohon pertolongan.
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahkan
nikmat kepada mereka, bukan jalan yang Engkau murkai dan bukan pula jalan yang
mereka sesat. a kunsi barakunsi kunsi alam, kunsi barakati, bismillah.
Allahumma saydinna muhammad wa alaali saydinna Muhammad”.
Setelah pemberian makan, para perempuan
berwudhu dan memohon maaf kepada orang tua agar semua proses dapat dilewati
dengan baik. Perempuan yang dikaghombo
memasuki songi dengan mengikuti tuntunan dari pomantoto
dengan memutar ke kanan sebanyak tiga kali di depan pintu kaeghomboha. Di dalam kaeghomboha perlengkapan
seperti bhansano ghai, bhansano bea, dan
ghai dijadikan sebagai alas
kepala waktu tidur. Kemudian kelengkapan lainnya juga dimasukkan ke dalam songi,
seperti janur, padhamara, ponda, polulu, kahitela, kapas, benang, bhale
(anyaman daun kelapa), dan kain putih. Para perempuan tidur dengan
kepala menghadap sebelah barat dengan menindis badan sebelah kanan.
Dalam proses kaghombo, pomantoto memberitahukan
makna ritual kaghombo bagi mereka. Makna ini harus dipahami oleh kalambe wuna
yang memiliki status sebagai wanita terhormat di lingkungan keluarga dan
masyarakatnya. Proses kaghombo
dilaksanakan selama 4 hari 4 malam dengan aktivitas yang terbatas.
Mereka hanya diperbolehkan makan pagi dan sore sesuai dengan takaran yang telah
ditentukan. Para perempuan yang dikaghombo tidak boleh membuang hajat besar dan
tidak diperkenankan untuk berdiri, bercerita ataupun hal lainnya yang
bertentangan dengan ketentuan adat kaghombo. Pada malam ketiga atau lebih
dikenal dengan alono kamboto (malam
bergadang) dilakukan pembacaan haroa kamboto bagi keluarga yang ikut pada malam
ketiga. Kemudian imam membaca doa haroa kaalano patirangka dan
pogalano. Kaalano patirangka
diiringi dengan takbir yang dilakukan oleh imam secara bersahut-sahutan,
lalu tari pogala juga dilakukan untuk
mengiringi kaalano patirangka yang berjalan dengan berlenggak-lenggok.
Masyarakat Muna mengenalnya dengan sebutan kafolego.
Tari
pogala diiringi dengan pemukulan
gendang yang teratur agar tidak ada yang terluka. Tarian ini terus dimainkan
sampai kaalano patirangka selesai, yang kemudian disusul dengan imam
bertakbir. Penunggu patirangka telah bersedia menerima dan mengambil,
diawali dengan berputar ke kanan sebanyak tiga kali lalu memutar ke kiri juga
sebanyak tiga kali. Patirangka tersebut dimasukkan ke dalam songi
oleh pomantoto untuk disimpan bersama para perempuan.
Setelah proses kaalano patirangka, maka dimulailah alono kamboto. Ritual ini
dilakukan seorang pembantu pomantoto dengan menari linda kemudian diakhir
tariannya ia akan menyanyi sare, sambil berjalan memukul gong dan gendang
dengan selendang tariannya. Tarian ini berlanjut karena penari pertama membuang
selendangnya pada orang lain yang menyaksikan tarian tersebut dan wajib
melakukan hal yang sama. Proses ini berjalan sampai fajar mulai tampak.
4.1.2.2 Kabansule
(Perubahan Posisi)
Proses
kabansule yaitu proses perubahan
posisi para perempuan yang dikaghombo. Awalnya posisi kepala sebelah barat
dengan berbaring miring ke kanan selanjutnya posisinya dibalik yaitu kepala ke
arah timur dan kedua tangan di bawah kepala menindis bagian kiri. Perpindahan
ini dimaksudkan sebagai perpindahan dari alam arwah ke alam aj‟san. Hal ini
diibaratkan seperti posisi bayi yang berada dalam kandungan yang senantiasa
bergerak dan berpindah arah atau posisi. Pada tahapan ini, pomantoto
mengambil air kaghombo yang telah disiapkan sebelumnya.
Proses pengambilan air dilakukan oleh
dua pasang remaja yang telah mengikuti acara pembacaan doa sebelumnya. Dua
pasang remaja ini diberi makan dengan cara saling bersuapan yang menggambarkan
kehidupan dua pasang suami-istri yang siap mengawali kehidupan berumah tangga.
Kemudian acara dilanjutkan dengan
porenso yakni isyarat makan sirih
atau merokok. Dalam masyarakat Muna setelah selesai makan selalu diikuti dengan
makan sirih atau merokok.
Proses ini sebagai tanda para perempuan kaghombo
melewati pembentukan diri di alam “misal” untuk dipersiapkan pada perpindahan
ke alam aj‟san. Mengawali proses itu kegiatan yang dilakukan oleh perempuan
yaitu:
a) Perempuan
yang dikaghombo dikelilingkan lampu
padjamara dan cermin, pada bagian kiri dan kanan tubuh. Hal ini sebagai tanda
agar kelak mendapatkan kehidupan yang terang benderang dan cermin sebagai
simbol kesungguhan, keseriusan dalam menghadapi tantangan kehidupan di masa
mendatang. Orang tua memberikan ungkapan yang selalu diingatkan setiap proses
ini berlangsung. Ungkapan tersebut yaitu:
Ana…
Kadekiho
polambu,
ane
paeho omandehao kofatowalahae ghabu
artinya
ana…
jangan
engkau kawin
sebelum
engkau memahami empat penjuru/sisi dapur
b) Proses
selanjutnya perebutan ketupat dan telur yang diambil dari belakang
masing-masing perempuan yang dikaghombo. Jumlah pengambilan tersebut tidak
dibatasi. Ini merupakan gambaran masa depan anak perempuan, artinya semakin
banyak merebut ketupat atau telur maka semakin cerah masa depannya. Proses ini
dilakukan pada malam terakhir kaghombo.
4.1.2.3.
Kalempangi (Pembukaan)
Kalempangi diawali dengan proses kabhalengka
yaitu proses membuka pintu kaghombo (kaghombo). Pada tahapan ini proses
perpindahan dari alam aj‟san ke alam insani. Alam ini adalah isyarat seorang
bayi baru lahir dari kandungan ibunya. Setelah dimandikan maka mereka dirapikan
rambut dan keningnya, atau disebut dengan proses kabhindu. Kabhindu merupakan
proses pencukuran rambut di sekitar wajah khususnya dahi dan alis yang
dilakukan oleh orang yang ahli dalam tahapan ini. Semua bulu rambut dan kening
disimpan di atas piring yang berisikan beras dan telur. Pembersihan ini
menggunakan silet sebagai alat utama dalam
kabhindu. Proses pembersihan ini ada kalanya mendapat halangan yakni
rambut dan kening tidak dapat dicukur. Kejadian ini memberikan isyarat pada
orang tua anak perempuan untuk berjanji pada anaknya. Istilah dalam bahasa
daerahnya yakni nofobheae. Janji yang
berikan orang tua berupa ungkapan yang dalam bahasa Muna “ hundamo madaho aegholiangko singkarumu” artinya relakanlah anakku, nanti ibu belikan
cincinmu. Dan akhirnya rambut anak tersebut dapat dibersihkan. Gambar proses
kabhindu dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 4: Kabhindu. Tampak seorang Ibu
yang telah ahli melakukan kabhindu
(pencukuran bulu-bulu halus di wajah) menggunakan silet. (Sumber: Dok.
Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal 08 Agustus 2014)
Setelah tahapan ini dilakukan, perempuan
yang dikaghombo telah siap untuk dirias
dengan model pakaian kaghombo yang telah ditentukan. Masyarakat mengenal
dengan sebutan kalempangi yang berarti
pelampauan atau melewati sebagai proses peralihan dari remaja ke usia dewasa.
Oleh karena itu, menurut ritual masyarakat Muna bahwa yang dikaghombo harus usia remaja menjelang dewasa. Proses pelampauan
lainnya ditandai dengan model pakaian yang dikenakan oleh perempuan, berbeda
dengan anak-anak sebelum memasuki usia dewasa. Pakaian yang digunakan yaitu
pakaian kalambe wuna dari golongan kaoumu dan walaka. Pelapisan sosial
masyarakat Muna juga dapat dilihat dari pakaian perempuan yang dikaghombo. Pakaian adat masyarakat Muna agar lebih
jelasnya dapat dilihat dari gambar berikut:
Gambar 5: Tampak dua kalambe wuna
yang telah lengkap menggunakan pakaian adat khas masyarakat Muna. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi.
Tanggal 08 November 2014)
4.1.2.4. Kafosampu (Pemindahan)
Pada hari ke empat menjelang magrib para
perempuan yang dipingit siap di keluarkan dari rumah ke tempat tertentu yang
disebut bhawono koruma (panggung). Pada
saat meninggalkan rumah, perempuan tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah.
Proses ini biasanya dilakukan dengan membentangkan kain putih dari rumah hingga
sampai panggung. Perempuan juga bisa dipikul atau dipapa oleh 2 orang laki-laki
yang berasal dari lingkaran keluarga kedua orang tuanya masih hidup.
Proses ini tidak memperbolehkan para
perempuan kaghombo untuk membuka mata sebagai isyarat kekhusyuan. Mereka duduk
bersimpuh di hadapan para gadis lain yang telah ditugaskan sebagai penjaga dan
pemegang sultaru. Isyarat untuk tidak
membuka mata sebagai tanda bahwa mereka bagaikan bayi yang baru lahir dari
kandungan ibunya. Pembukaan mata dilakukan setelah imam membaca doa dengan
harapan mereka telah siap untuk menghadapi dan menjalani kehidupan di dunia
yang penuh dengan tantangan. Doa tersebut berbentuk permohonan kepada Tuhan yang
maha esa agar dapat diberikan keimanan yang kuat dalam menjalani kehidupannya.
Untuk lebih jelasnya gambar sultaru
(semacam pohon terang yang terbuat dari kertas warna-warni dan dipuncaknya
dipasangkan lilin yang menyala) dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 6: Sultaru.
Tampak gadis-gadis yang akan mendampingi kalambe wuna beserta sultaru
sebagai tanda penerang kehidupan yang akan datang. (Sumber: Dok. Ismul azam. Di Desa Lagadi.
Tanggal 08 Agustus 2014)
4.1.2.5.
Katandano Wite (Penyentuhan Tanah)
Katandano wite merupakan proses penyentuhan tanah pada
perempuan yang dikaghombo yang
mengisyaratkan sebagai proses pemindahan alam, dari alam misal ke alam insani.
Proses ini dilakukan oleh imam, diawali dari perempuan yang berada di sebelah
kanan. Tanah tersebut disimpan dalam piring yang dibungkus kain putih yang
disentuhkan pada ubun-ubun, dahi, dan selanjutnya seluruh persendian hingga
dengan telapak kaki. Proses katandano wite mempunyai etika sebagai berikut:
a. Sentuhan
yang dilakukan oleh imam dari ubun-ubun turun ke dahi dengan menggambarkan
huruf alif. Huruf alif merupakan rahasia Tuhan yang tersimpul pada manusia.
Penukaghombo huruf alif ini sebagai isyarat bahwa mereka telah diisi secara
sempurna terutama yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan pengenalan
diri secara utuh. Huruf alif dalam Al-Quran memiliki kriteria tersendiri yang
tidak dapat disambungkan dengan huruf lain dan biasanya mematikan huruf-huruf
lainnya. Oleh karena itu, proses ini digambarkan
dengan huruf alif yang menjadi simpul dari ungkapan: “rahasia Tuhan ada pada
manusia, rahasia manusia ada pada Tuhan, rahasia laki-laki ada pada perempuan
dan rahasia perempuan ada pada laki-laki” (wawancara dengan La Engko, 67 tahun pada
hari Jumat 08 Agustus 2014). Adapun proses
katandano wite dapat dilihat dari
dua gambar berikut
Gambar 7: Proses penyentuhan tanah yang dimulai dari
ubun-ubun hingga mata kaki. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa Lagadi. Tanggal
08 Agustus 2014)
Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa ketika proses
ini dilakukan, maka semua rahasia yang ada pada diri manusia ditentukan oleh
yang maha kuasa. Rahasia keluarga dan rumah tangga dititipkan amanah pada
perempuan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu huruf alif juga memberi isyarat
bahwa yang lebih penting dalam hidup ini adalah mengenali diri, karena bila
mampu mengenali diri juga sudah mengenal tuhannya. Proses ini dilanjutkan pada
bagian lainnya sebanyak 17 titik pada tubuh manusia yang dimulai dari dahi
sampai pada telapak kaki yang merupakan isyarat 17 rakaat shalat bagi umat
Islam.
b. Kabhasano dhoa (pembacaan doa)
Pembacaan
doa dilakukan sebagai tanda syukur bahwa segala proses kaghombo telah berjalan
dengan baik dan mendoakan agar semua dapat menjalani kehidupan di muka bumi
penuh berkah dan tanggung jawab. Adapun proses kabhasano dhoa dapat dilihat
pada gambar berikut:
Gambar 8: Proses kabhasano dhoa bagi
kalambe wuna. (Sumber:
Dok. Ismul azam, di desa Lagadi, Tanggal 08 Agustus 2014)
4.1.2.6. Tari Linda
Tari
linda merupakan tarian kalambe
wuna yang memperlihatkan secara halus bahwa seorang perempuan telah dewasa dan
siap berumah tangga. Namun tari linda pada proses kaghombo berbeda dengan
tarian yang biasanya dibawakan kalambe wuna
pada acara-acara penyambutan tamu. Tari
linda yang dilakukan hanya
memutar dan bergerak di seputar tempatnya saja. Masyarakat Muna mengenalnya
dengan sebutan linda setangke
kulubea. Tarian ini menjadi rangkaian
dari pelaksanaan tutura kaghombo karena merupakan simbol dari tari kelahiran
kembali dan sebagai tari kemenangan dari setiap proses yang dilewati. Untuk
lebih jelasnya dapat di lihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 9: Tari Linda yang diperagakan
salah seorang kalambe wuna yang dikaghombo. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa
Lagadi, Tanggal 08 Agustus 2014)
Berdasarkan uraian di atas bahwa tari
linda juga dijadikan sebagai tari penyambutan tamu di Kabupaten Muna. Uniknya
tari linda ini, biasa dilakukan di tengah-tengah lingkaran pertunjukan-pertunjukan
seni beladiri balaba (sejenis silat). Tari linda berasal dari
bahasa daerah Muna yang berarti menari berkeliling, laksana burung yang
terbang, berkeliling dengan sayap yang terkembang indah. Tarian ini telah lama
berkembang di tengah-tengah masyarakat Muna sebagai tarian rakyat. Tari linda
telah ada di kabupaten Muna sekitar abad ke-16, yakni di masa pemerintahan raja Laposasu (kobang
kuduno) (wawancara dengan La Nurdin 57 tahun pada Sabtu 09 Agustus 2014).
Pemaknaan tari linda yang dipertunjukkan
oleh peserta kaghombo dapat dimaknai dalam beberapa aspek yaitu;
1.
Dari aspek estetika bahwa perempuan
harus mampu manunjukkan kemampuan yang sesuai, yang indah dan berseni sebagai
lambang keempuan wanita yang menggambarkan jiwanya yang halus.
2.
Dari aspek kejuangan bahwa perempuan
yang dikaghombo telah mampu melampaui perjuangan melawan hawa nafsu dalam
songi, sehingga sebagai simbol kegembiraan maka ia melakonkan suatu tarian
yaitu tari linda. Tampilan peserta dalam mempertunjukan tari tersebut merupakan
lambang bahwa dirinya menang dan siap menjalani seluk beluk kehidupan dunia
yang penuh tantangan.
3.
Dari aspek pembentukkan keluarga bahwa
dalam pertunjukan tari linda yang dilakoni oleh peserta kaghombo biasa terjadi
sebagai langkah awal perkenalan antara laki-laki dengan perempuan untuk
kemudian saling jatuh cinta dipertalikan dengan kagholuno samba (gulungan
selendang sutra).
4.1.2.7 Kaghorono bhansa
Dalam proses ritual kaghombo pada
masyarakat Muna dikenal istilah
kaghorono bhansa atau kafolantono bhansa sebagai tahap akhir dari
rangkaian acara. Biasanya tahapan ini dilakukan pada hari berikutnya atau dapat
dilakukan pada hari lain. Pembuangan mayang diikuti oleh keluarga, imam,
pomantoto, para perempuan yang dikaghombo, dan masyarakat lainnya yang ingin
menyaksikan proses tersebut. Iringan menuju sungai diikuti dengan alunan ganda
yang dimainkan sepanjang jalan sehingga menarik perhatian orang lain.
Pembuangan ini menandakan bahwa segala
etika buruk yang melekat pada perempuan yang dikaghombo akan pergi bersama
mayang pinang. Posisi mayang yang
dibuang dengan cara diapungkan di sungai. Pembuangan ini juga menandakan jodoh,
nasib, dan takdir perempuan tersebut. Misalnya, pada saat dilakukan kaghorono
bhansa, kondisi mayang berbeda-beda, ada
yang tenggelam, ada yang terapung, ada yang melayang dan ada juga yang hanyut
dibawa air.
4.2 Pergeseran Ritual Kaghombo
Telah dikatakan sebelumnya bahwa ada
unsur-unsur ritual ini yang tetap bertahan. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman sebagian tahapan dalam pelaksanaan ritual
kaghombo tidak dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan adat yang sebenarnya. Senada dengan itu Waode Faaliha
mengatakan proses tahapan pelaksanaan ritual
kaghombo saat ini mengalami
pergeseran nilai dan fungsi, sebagai
pomantoto merasakan banyak hal yang berbeda pelaksanaan ritual ini.
Kutipan wawancaranya, “…ada banyak yang
berbeda dalam tahapan pelaksanaan dan perlengkapan yang digunakan dalam ritual
ini. Waktu saya dikaghombo, semua tahapannya dilaksanakan dan perlengkapannya
pun tidak dikurangi atau dihilangkan. Sekarang ini tombula untuk pengambilan
air, bhosu (termos) untuk menyimpanan air, kamba wuna, padjamara sudah hampir
tidak digunakan. Begitupula dengan tahapan pelaksanaan. Misalnya malam ketiga alono
kamboto (malam begadang) tidak ada lagi yang namanya kafolego, tari pogala,
pengambilan patirangka dan nyanyian sare. Semua tahapan ini sebagian besar
ketika saya jadi pomantoto tidak dilaksanakan oleh masyarakat pendukung ritual
ini…”(wawancara pada senin, 11 Agustus
2014).
Pada tahapan kafoluku (proses selama
dalam tempat kaghombo), kabhansule (perubahan posisi) dan tari linda, tidak dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang telah disepakati secara turun-temurun. Hal ini didapatkan penulis,
ketika menyaksikan dan ikut dalam proses pelaksanaan ritual ini. Pada
tahap kafoluku yang seharusnya pada
malam ke tiga atau lebih dikenal dengan
alono kamboto (malam bergadang) diisi dengan kegiatan pembacaan doa,
pengambilan patirangka (imam membaca
takbir), tari pogala dan tari
linda yang diringi nyanyian sare
yang dilakukan masyarakat di luar tempat pemingitan. Kenyataanya,
ritual alono kamboto ini sebagian besar tidak lagi dilakukan.
Pelaksana ritual hanya mengisi malam ketiga dengan persiapan pembuatan panggung
dan pemukulan ganda yang menandakan pergantian tahapan dalam
ritual ini.
Perubahan lain juga dapat dilihat pada
tahap kabhansule (perubahan posisi) dan tari linda
yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh
pomantoto dan perempuan yang dipingit.
Pada tahap kabhasule, ada proses yang harus dilakukan yaitu proses perpindahan
dari alam “misal” ke alam “aj‟san” yang mengawali proses tersebut dengan
mengelilingkan lampu padjamara pada perempuan yang dipingit sebagai tanda
penerangan bagi kehidupannya. Penggunaan lampu padjamara ini, hampir tidak digunakan lagi. Hal ini
secara tidak langsung mengurangi nilai dan fungsi yang terkandung dalam ritual
ini.
Pada tahapan perubahan posisi juga tidak
berurutan sesuai dengan kesepakatan yang telah dilaksanakan secara
turun-temurun berdasarkan golongan melainkan saat ini berdasarkan pada siapa
yang mempunyai acara dan lebih tinggi tingkat pendidikan dan perekonomiannya.
Sedangkan pada bagian tari linda, pelaksanaanya hanya diringi dengan alunan ganda, lagu La Kadandio tidak lagi dikumandangkan. Hal ini tidak
sesuai dengan ketentuan adat yang mengharuskan dan menjadi syarat pelaksaan
tari linda yaitu harus diiringi dengan syair lagu La Kadandio. Syair lagi ini
dianggap keramhat bagi masyarakat dan hanya dapat dinyanyikan ketika ada tari
linda.
4.3 Pembahasan
4.3.1.
Perubahan Ritual Kaghombo (pingitan)
Secara umum
perubahan dalam suatu ritual tidak dapat dihindari mengingat ritual kaghombo tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Meskipun hal ini terjadi, ritual kaghombo
akan tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat muna selama pelaku atau
penutur ritual kaghombo maupun masyarakat pendukung ritual kaghombo tetap ada.
Perubahan dalam ritual ini juga dapat dilihat dari beberapa unsur di dalam
proses pelaksanaannya. Misalnya, penciptaan, konteks pertunjukan dan tahap
pelaksanaan.
4.3.1.1 Proses Penciptaan Ritual Kaghombo
Setiap daerah memiliki ritual yang mengandung
nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai penyatu dalam suatu komunitas.
Nilai-nilai luhur sebagai gambaran hubungan dalam masyarakat, baik hubungan
masyarakat dengan Tuhannya, maupun hubungan manusia dengan alam atau
lingkungannya. Untuk itu, sebuah ritual tidak dapat dipisahkan dari
komunitasnya. Pola pemikiran masyarakat seringkali diketahui dari sebuah ritual
kaghombo yang didapat secara turun-temurun. Ritual juga memuat gambaran segala
aktivitas masyarakat baik yang telah dilalui maupun yang akan datang. Dengan adanya
komunikasi sebagai kata kunci sehingga memungkinkan ritual kaghombo dapat
tercipta kembali.
Dalam proses pewarisan terdapat
interaksi yang dibentuk oleh penutur atau penyaji ritual kaghombo masyarakat muna
ataupun penonton. Interaksi yang terjadi diwariskan secara turun temurun yang
saling berhubungan satu sama lainnya. Proses pewarisan tersebut merupakan dua
hal pokok yang berhubungan dengan proses penciptaan ritual kaghombo.
Kaghombo merupakan salah satu ritual
daur hidup masyarakat Muna yang bernuansa ritual. Ritual kaghombo ini menjadi
puncak kangkilo bagi anak perempuan yang
telah memasuki usia remaja dan siap berumah tangga. Artinya, ritual kaghombo
ini sebagai proses pematangan terakhir bagi perempuan sebelum pernikahan
atau mencapai kematangan sempurna dalam kehidupannya yang akan datang.
Kematangan sempurna yang akan didapatkan bukan hanya berdasarkan kepatuhan terhadap
orang tua, menghargai orang lain, namun yang menjadi dasar pijakan tertinggi
bagi masyarakat Muna adalah ajaran agama yang didapatkan oleh anak perempuan
agar menjadi manusia sempurna. Anak perempuan pada masyarakat Muna memiliki
tempat yang istimewa. Oleh karena itu, kalambe wuna diharapkan dapat menjaga
pola tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang tetap bernuansa agama dan
kepercayaan yang dimilikinya.
Secara turun-temurun ritual kaghombo ini
terus dilakukan oleh masyarakat Muna sebagai pelunasan tanggung jawab orang tua
terhadap anaknya. Proses penciptaan ritual kaghombo khususnya pada bhatata yang disampaikan pomantoto banyak dipengaruhi
oleh peristiwa yang terjadi pada masyarakat. Pomantoto sebagai penyaji dalam ritual kaghombo
memberikan bhatata berdasarkan
apa yang terjadi pada masyarakat saat ini. Misalnya pada bhatata berikut ini:
“Dokokaghombo
ini maanano mina napohala bhe dosikola, taaka kafoinaghu welo kaghombo ini nopohala bhe dosikola,
taaka kafoinaghu welo kaghombo ini nopohala bhe kafoinaghu we sikola”.
Artinya : Kaghombo ini maksudnya tidak
ada perbedaan dengan menuntut ilmu di sekolah, tetapi pesan yang disampaikan
dalam ritual kaghombo ini berbeda dengan ilmu yang didapatkan di sekolah.
Penekanan dan nasehat yang diberikan dalam ritual ini sangat berbeda dengan
pelajaran menuntut ilmu atau waktu
sekolah.
“Dokokaghombo ini
maanano dofosentuwu nepandehao, kafoinaghu kamponano ini maighono
nekamokulaghi. Moraetua, sigaa lagi ane dhohala finda maitu, okamokula lagi
sigaa dopogau daani , eh… mina nasentuwu tuturano anahi amaitu. Sewobha, raawobha ini taaka maanano
nendalo”.
Artinya
: Pengertian ini maksudnya menyempurnakan apa yang belum diketahui atau ilmu
yang belum diketahui. Selama ini yang diajarkan adalah dari orang tua, kapan
atau apa bila salah gerak atau bertingkah laku karena yang tidak benar orang
tua biasa mengucapkan atau berbicara dengan mengatakan bahwa anak ini tidak
sempurna adat pinggitan, sehingga sangatlah penting pengetahuan atau
ajaran yang diajarkan pengetahuan kaghombo itu.
“Sigaa lagi maitu
okamokula dopoghau “ nalumaintobhe anahi
amaitu “ dopogau damaitu rampano oanahi lagi maitu doworae mina naepandehao
ghuluha. Daanomo siga mahingka mie
kolalohino, sigaa dua mahingga kamokula dohala finda dua. Dadi itu tabea
damehu-mehulaie kafoinaghu kamponano ini”.
Artinya
: Sebagian atau biasa orang tua berkata bahwa anak ini tidak akan panjang
umurnya, berkata demikian karena anak
itu dinilai tidak mempunyai kelakuan
yang baik atau tingkah laku yang tidak baik dan ini biasanya bukan saja anak
kecil tetapi, bahkan orang tua pun salah tingkah atau tidak sopan. Oleh karena
itu harus senantiasa diingat-ingatkan
yang di ajarkan selama ini.
Bhatata ini diciptakan sesuai dengan
kejadian atau kenyataan yang terjadi dalam lingkup kehidupan sehari-hari
kalambe wuna. Seorang pomantoto berusaha menyampaikan pesan dengan menyentuh
perasaan anak perempuan melalui ungkapan-ungkapan yang lembut, namun memiliki
makna yang berhubungan dengan kehidupannya kelak dan sebagai prempuan yang
dimuliakan kedudukannya di masyarakat. Anak perempuan sebagai pertama keluarga
dituntut mampu menjaga harga diri keluarga dengan cara bertingkah laku yang
baik sesuai ajaran agama dan moral yang diperolehnya.. Menurut sebagaian
masyarakat Muna yang telah menjalani ritual ini secara turun temurun bahwa bhatata
yang disampaikan pada anak perempuan akan membawa perubahan yang baik
bagi kehidupannya.
4.3.1.2. Konteks Pertunjukan
Pertunjukan ritual kaghombo biasanya
terjadi dalam ruang sosial budaya tertentu yang menentukan makna pertunjukan.
Pertunjukan yang dilakukan tidak terlepas dari aturan atau norma budaya yang
telah disepakati oleh masyarakat pendukung ritual tersebut. Baik itu berupa
aturan dalam pertunjukan sebuah ritual atau pengemasan pertunjukannya.
Sementara sifat dari sebuah pertunjukan tergantung pada konteks pertunjukan
yang meliputi segala hal yang berkaitan dengan masyarakat pemilik ritual itu.
Konteks ini mengandung variabel seperti penonton yang melihat dan mendengar
(Bauman, 1977:27).
Konteks yang dimaksud adalah
pemain/pelaku, audiens/penonton, tempat pertunjukan, dan waktu pertunjukan. Hal
ini berarti bahwa sebuah pertunjukan tidak dapat dikatakan sebagai pertunjukan ritual
kaghombo tanpa adanya konteks. Oleh karena itu, konteks dalam pertunjukan ritual
kaghombo sangat penting dalam memberikan makna pertunjukan. Begitupun halnya
dengan komunikasi dapat dimengerti ketika dikaitkan dengan konteksnya yakni
bagaimana konteks pertunjukannya dan budaya di dalamnya. Bauman (1977:27)
mengemukakan bahwa sebuah pertunjukan hendaknya dipandang sebagai perilaku yang
disituasikan dan mengandung makna yang ditentukan oleh konteks yaitu budaya dan
situasi. Pemahaman ini bila dikaitkan dengan ritual kaghombo sebagai salah satu
ritual yang ada pada masyarakat Muna yang terdapat ritual, nyanyian, musik, dan
tarian. Unsur-unsur yang terdapat dalam ritual ini memiliki makna bila
dikaitkan dengan konteks.
a.
Tempat
Pertunjukan
Tempat pertunjukan ritual kaghombo
sangat diperhatikan oleh masyarakat pemilik ritual ini. Hal ini
dilakukan karena posisi kalambe wuna dalam upacara ini sangat dimuliakan yakni
sebagai perempuan suci dan diibaratkan akan terlahir kembali dari perut ibunya.
Untuk itu, tempat proses pelaksanaan ritual kaghombo yang meliputi kafoluku, kabansule, kalempangi, dan
kafosampu berlangsung dibuat secara
khusus yang menyerupai kotak persegi empat yang di dalamnya tidak terdapat
cahaya. Sedangkan tahap akhir pelaksanaan ritual ini yang meliputi katandano
wite, tari linda, kahapui dan kaghorono bhansa juga dibuat secara khusus (panggung) dan
berada pada ruang terbuka yang dapat dilihat secara langsung oleh masyarakat
pendukungnya.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman sebagian masyarakaat tidak lagi
menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati secara turun-temurun. Misalnya,
kotak persegi empat atau yang dikenal masyarakat Muna dengan sebutan songi
sudah jarang digunakan lagi, sebagian masyarakat pendukung ritual ini
mengganti dengan kamar yang berada dalam rumah dan tahapan lainnya seperti
katandano wite, tari linda, tidak dilakukan di atas panggung. Perlakuan ini
secara tidak langsung mengurangi nilai dan fungsi yang terkandung dalam ritual
ini (wawancara dengan Wandoapa 56 tahun Jumat 10 Agustus 2014). Pembuatan
panggung itu sendiri berfungsi sebagai tanda bahwa seorang perempuan Muna
memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Muna. Untuk itu, posisinya
dibuat lebih tinggi dibandingkan masyarakat lain yang menyaksikan ritual kaghombo
ini.
b.
Waktu
Pertunjukan
Ketentuan waktu dalam ritual ini berdasarkan
kepakatan yang telah diwarisi secara turun temurun. Pertama kali ritual
dilaksanakan selama 40 hari 40 malam sesuai dengan keputusan raja Muna XVI La
Ode Huseini sebagai proses penciptaan manusia yang melewati empat alam34yakni
(1) alam arwah yaitu roh masuk bersifat rahasia Tuhan; (2) alam misal yaitu roh
sudah berada di sekitar manusia lainnya dalam kandungan; (3) alam aj‟sam yaitu
roh sudah dititipkan kepada manusia sehingga manusia lahir dari kandungan; (4)
alam insani yaitu manusia telah lahir dan berada di bumi. Penentuan waktu ini
juga disesuaikan dengan golongan strata sosial keluarga kalambe wuna.
Golongan kaomu dipandang sebagai
golongan bangsawan yang pasti memiliki kemampuan lebih dibandingkan golongan
maradika dan walaka.
Seiring dengan perkembangan waktu,
pelaksanaan upacara kaghombo dikurangi menjadi 4 hari 4 malam. Kaum perempuan
mendapat berbagai pengetahuan tentang tata cara kehidupan baik hubungannya
dengan Tuhan maupun hubungannya dengan sesama manusia. Empat hari empat malam
mengandung makna sebagai berikut:
1.
empat hari empat malam, artinya bahwa
raga manusia terdiri atas empat bagian yang saling berekerja sama dalam segala
aktvitas manusia setiap saat. Misalnya,
kepala sebagai pusat pemikiran manusia yang menjadi sumber pengambilan
keputusan yang akan diwujudkan dalam bentuk tindakan, dada
dalam hal ini merupakan pusat keteguhan batin yang menjadi sumber
keyakinan manusia yang paling utama terhadap Allah SWT, sebagai pencipta alam
semesta beserta isinya baik yang lahir maupun gaib, perut yang merupakan asal
datangnya segala nafsu manusia baik nafsu yang diridhoi maupun yang
dilarangNya. Kemudian tangan dan kaki
hal ini merupakan pelaksana utama daripada realisasi hasil, kerjasama keempat
bagian tersebut yang diwujudkan dalam bentuk tindakan yang sangat konkrit.
2.
pemberian makan pada kalambe wuna
yang dibatasi artinya bahwa dalam kehidupan duniawi tidak serba cukup
dengan keinginan, manusia hanya mampu berusaha, tetapi tuhan yang menentukan
segalanya.
3.
pakaian dan perhiasan yang beraneka ragam
warna artinya bahwa kehidupan masyarakat terdiri atas berbagai macam tipe
manusia, dan alangkah baiknya kalau bersatu agar terbentuk kerjasama yang baik
untuk memudahkan pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Penggunaan pakaian dan
perhiasan disesuaikan dengan adat pernikahan
kalambe wuna.
4.
pencoretan tanah artinya seorang gadis
menyadari diri bahwa keberadaan dirinya di muka bumi ini bersifat sementara
yang nantinya akan kembali pada tanah.
5.
penerapungan bunga pinang artinya gadis
tersebut membuang sifat-sifat jeleknya (Waode Musa, 60 tahun diwawancarai pada
hari jumat, 1 Agustus 2014).
Selain 4 hari 4 malam waktu pelaksanaan ritual
ini juga dapat dilakukan selama 2 hari 2 malam dan sehari semalam. Pengurangan
waktu pelaksanaan ini biasanya disebabkan oleh karena sebagian besar kalambe wuna
saat ini tidak mampu untuk menjalani ritual ini selama 4 hari 4 malam
dan kesibukan masyarakat pendukung ritual itu sendiri sehingga waktu
pelaksanaan disesuaikan dengan jadwal pekerjaan mereka. Penentuan waktu
pelaksaan ritual ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi masyarakat pendukung ritual
itu sendiri. Jika masyarakat yang mengadakan ritual kaghombo memiliki keuangan
yang cukup, biasanya waktu pelaksanaa selama 4 hari 4 malam. Sebaliknya jika perekonomian kurang biasanya
anak perempuan mereka akan dititipkan kepada keluarga lain atau pelaksanaan kaghombo
hanya dilakukan sehari semalam.
Namun sebagian masyarakat saat ini yang
memiliki tingkat pendidikan, kepercayaan agama dan perekonomian yang lebih,
biasanya tidak lagi melaksanakan tahapan-tahapan dalam ritual ini. Mereka hanya
meminta pada tokoh agama dan
pomantoto untuk membuatkan oe metaano
(air baik) dan oe modaino (air tidak baik), lalu dimandikan kepada anak perempuan. Mereka
beranggapan bahwa seorang anak perempuan tidak mesti melakukan tahapan-tahapan
dalam ritual ini, karena bisa saja berakibat yang tidak baik. Misalnya. tidak
mandi selama berhari-hari, memakai bedak seluruh badan dan jatah makan yang
dibatasi. Menurut mereka perlakuan seperti ini tidak serta merta akan mengubah
sikap anak perempuan dalam kehidupannya kelak (wawancara dengan La Mutiara, 47
tahun pada 30 Juli 2014).
4.3.1.3.
Pelaku Ritual Kaghombo
Penyaji ritual dalam ritual ini sebagian besar
dilakukan oleh imam perempuan (pomantoto) sedangkan imam laki-laki (lebe) hanya
pada tahapan awal dan akhir ritual ini. Penentuan ini memang sudah disepakati
secara turun-temurun. Hal ini dikarenakan pelaku utama dalam ritual kaghombo ini adalah perempuan yang sedang mensucikan
diri. Menurut wawancara dengan La ghanta (65 tahun pada 29 Juli 2014) ritual kaghombo
adalah upacara yang harus dilaksanakan perempuan dewasa dan sudah
menjadi kewajiban orang tua untuk melaksanakannya sekali seumur hidup dengan
maksud menuntun anak ke jalan yang benar serta mensucikan diri dan jiwa anak
agar dalam hidupnya tidak tersesat dengan gangguan-gangguan roh jahat yang
menjerumuskan hidup manusia dalam kemungkaran dan keniscayaan.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa ritual kaghombo merupakan ritual yang dilaksanakan sekali seumur hidup
bagi perempuan yang telah masuk usia dewasa sebagai proses penyucian diri, agar
lebih bertanggung jawab dan siap menghadapi kehidupan yang akan datang.
Ritual ini juga syarat dan permainan rakyat dengan
musik yang mengiringi segala hal yang berkaitan dengan tahapan pelaksanaannya.
Permainan rakyat biasanya dimainkan oleh laki-laki yang akan diringi dengan
alunan ganda. Alunan ganda ini akan selalu
terdengar setiap pergantian tahapan pelaksanaan kaghombo. Selain itu, kaum
laki-laki dalam ritual ini juga bertugas untuk mengangkat/menggendong kalambe
wuna ketika keluar dari dalam kaghombo. Laki-laki yang bertugas ini hanya
diperbolehkan bagi seseorang yang mempunyai hubungan keluarga yaitu ayah, kakak
laki-laki, paman, sepupu laki-laki atau calon suami dari perempuan yang
dipingit. Dalam ritual ini juga disepakati bahwa kaum laki-laki hanya
diperbolehkan berada di luar songi untuk menjaga pelaksanaan ritual ini.
4.3.1.4. Kostum
Dalam ritual kaghombo
penggunaan kostum sangat diperhatikan dan disesuaikan dengan ketentuan
adat dari seorang kalambe wuna yang akan dikaghombo. Pengaturan dalam pakaian
adat ini telah berlangsung sejak zaman pemerintahan Titakono dan bhonto bhalano La Marati (Couvreur, 2001: 40-52). Pakaian
ini diatur sesuai dengan ketentuan masing-masing golongan. Misalnya, golongan
perempuan kaoumu yang belum menikah memakai satu lembar sarung, satu kain
sebatas mata kaki, kain kedua dipakai di atasnya, tetapi hanya sebatas sedikit
di atas lutut. Golongan walaka memakai tiga lembar sarung dan memakai kabhantapi
yang diletakkan di bahu sebelah kanan. Sedangkan dua golongan lainnya yaitu
anangkolaki dan maradika memakai tiga kain, yang berbeda hanya penempatan kain
kedua yang berada di dibawah betis dan sebatas mata kaki. Penggunaan perhiasan
juga disesuaikan pada golongan-golongannya dan status kalambe wuna yang sudah
menikah maupun yang belum menikah.
Kebiasaan cara berpakaian yang lain
dilakukan oleh kalambe wuna yang belum
menikah di zaman dahulu yakni menggunakan kain dengan cara mengikatnya pada
salah satu bahu dan mengikatnya di atas dada. Dalam tahapan pelaksanaan ritual kaghombo
juga diperlihatkan penggunaan kain atau sarung yang diikatkan di atas
dada. Pada tahapan kafoluku,
kabhansule, dan kalempangi menggunakan kain putih dan sarung
yang diikat pada bagian atas dada. Kain putih yang digunakan memiliki makna
yang berhubungan dengan penggambaran kesucian diri seorang perempuan. Namun,
sebagian pelaku dalam ritual ini tidak lagi memperhatikan nilai yang terkandung
dalam pemakaian kain putih.
Pergeseran nilai mulai terjadi dalam ritual
ini, beberapa unsur yang menunjang di dalamnya mulai dihilangkan. Hal ini dapat
dilihat pada gambar di bawah ini, pada tahapan
kafoluku perempuan yang akan dikaghombo tidak lagi menggunakan kain putih yang telah
menjadi kesepakatan dalam ritual ini yang telah diwariskan secara turun
temurun.
Gambar 10:
Tahapan pelaksanaan ritual kaghombo yakni
kafoluku. Tampak kalambe
wuna memasuki songi
(tempat kaghombo). Kain yang digunakan berupa sarung yang bercorak. (Sumber: Dok. Ismul azan, di desa Lagadi.
Tanggal 04 Agustus 2014)
Selain penggunaan kain atau sarung dalam
ritual ini, mengenai perhiasan dan pendandanan bagi kalambe wuna
pada masa sekarang, sebagian kebiasaan yang telah dilakukan secara
turun-temurun mulai dihilangkan oleh para pelaku ritual ini. Misalnya, saat
proses kabhindu yaitu pembersihan
bulu-bulu halus di wajah dan pembuatan poni yang harus dilakukan sebagai tanda
pembeda dengan peserta kaghombo lainnya yang lebih dahulu menikah. Kutipan
wawancara dengan Wandoapa (01 Agustus 2014), “….keluarga yang menyelenggarakan ritual
kaghombo ini biasanya, dilakukan ketika ada anak perempuannya yang akan menikah
setelah 4 hari 4 malam melewati kaghombo. Untuk membedakan perempuan Muna mana
yang akan menikah setelah kaghombo berlangsung dengan mana yang tidak akan
menikah terlihat pada potongan rambut (poni) akan berbeda bentuknya dengan yang
sudah menikah…”.
4.3.1.5.
Perlengkapan Ritual Kaghombo
Perlengkapan ritual kaghombo meliputi bahan dan alat dalam
tahapan proses pelaksanaannya. Bahan dan alat dalam kaeghomboha (kaghombo) ini
terdiri dari;
a) Bhansano
ghai dan bhansano bea, digunakan sebagai pengalas kepala bagi kalambe wuna
dalam kaghombo. Saat ini penggunaan pengalas kepala biasanya hanya memilih
salah satu dari dua pengalas kepala. Pemilihan salah satu pengalas kepala tidak
sesuai dengan ketentuan adat yang seharusnya digunakan kedua-duanya.
b) Padjamara,
(lampu ritualonal masyarakat Muna) yang tidak dinyalakan.
c) Dua
buah palangga (tempat yang terbuat dari lidi pohon aren dalam bentuk anyaman).
Palangga merupakan analogi dari kendaraan Tandiabe pada awal memasuki daerah
Muna. Pangga yang berisikan beras, telur dan uang perak. Saat ini sebagian
besar masyarakat Muna tidak lagi menggunakan palangga, namun masyarakat
menggantinya dengan wadah yang terbuat dari plastik.
d) Polulu (kampak) dan kandole (bambu alat tenun)
memiliki makna sebagai isyarat bahwa siap mengahadapi kehidupan rumah tangga
yang penuh tantangan. Kedua benda ini
dimasukkan dalam ruang kaghombo sebagai simbol bahwa kalambe wuna diharapakan
mampu menghadapi seluk beluk kehidupan. Namun kenyataannya, penggunaan kandole
sudah jarang ditemukan dalam ritual kaghombo.
e) Jagung
dan umbi-umbian (ghofa dan mafu), memiliki makna kehidupan.
f) Kapas
dan benang sebagai bahan sarung yang memiliki makna keterampilan seorang
perempuan bahwa mampu menghadapi keluarga apabila telah mampu membuat tenunan
(ukuran zaman dahulu).
g) Anyaman
daun kelapa yang masih muda (bhale) yang berbentuk segi empat ukuran 50x50 cm
yang jumlahnya disamakan dengan jumlah kalambe wuna yang dipingit.
h) Tikar
yang terbuat dari daun agel (ponda bhale), tikar ini digunakan sebagai alas
tempat tidur para kalambe wuna. Menurut
kepercayaan masyarakat Muna, tikar tersebut tidak dapat diganti dengan karpet
atau tikar plastik, karena memiliki nilai filosofi kehidupan yaitu sebagai perempamaan
dalam kehidupan keluarga tidak hanya mengaharapkan yang enak tetapi juga harus
siap menghadapi penderitaan dalam kehidupan.
i)
Kain putih sebagai alas tikar ponda
bhale yang memiliki makna kesucian.
j)
Obura (bedak).
k) Sultaru
adalah miniatur yang mendampingi atau berada di belakang perempuan yang
dipingit, ketika melaksanakan tahapan
katandano wite, tari linda.
Untuk lebih jelasnya sebagian
perlengkapan ritual kaghombo yang disebutkan di atas dapat dilihat pada
gambar-gambar di bawah ini:
Gambar 12: Perlengkapan Kaghombo, Bhansano Bea, Pae, Ghai, Kai Kapute, Polulu
dan Ghunteli. (Sumber: Dok. Ismul
azam, di desa Lagadi. Tanggal 04 Agustus 2014)
Kenyataan yang terjadi sekarang dalam
pelaksanaan ritual ini, sebagian pelengkapan ritual ini mulai tidak
diperhatikan nilai dan fungsinya. Misalnya, kapas dan benang sebagai bahan
sarung yang memiliki makna keterampilan seorang perempuan bahwa mampu
menghadapi keluarga apabila telah mampu membuat tenunan (ukuran zaman dahulu)
tidak lagi dimasukkan ke dalam tempat kaghombo yang berfungsi sebagai usaha
perempuan yang dipingit agar kelak dalam menghadapi kehidupan yang sulit,
perempuan mampu membuat usaha dalam membantu keluarganya.
Begitupun halnya dengan jagung dan
umbi-umbian (ghofa dan mafu), memiliki makna kehidupan sudah jarang dimasukkan
ke dalam tempat kaghombo. Saat ini jagung dan umbi-umbian diganti dengan beras,
telur dan ketupat. Hanya saja pada pelengkapan yang ini masih memiliki makna
yang sama yakni penunjang dalam kehidupan nantinya.
4.3.1.6.
Penonton
Penonton menjadi salah satu bagian yang harus
diperhatikan dalam pertunjukan ritual kaghombo. Hal ini sesuai dengan pendapat
Finnegan yang membagi audiens atas pendengar dan penonton, serta audiens yang
ikut serta dalam penceritaan dan terpisah dari penceritaan (Tuloli, 1991:225).
Penonton berperan sebagai pemberi respon atas keberhasilan atau tidaknya suatu
pertunjukan sebuah ritual. Tanggapan penonton yang diperlihatkan akan beragam sesuai dengan
rangsangan yang diberikan oleh pelaku ritual. Sweeny (1987:2) mengemukakan
bahwa pelaku ritual secara sengaja merangsang audiens agar memberikan reaksi
tertentu pada sebuah pertunjukan. Ketika suatu pertunjukan ritual berakhir,
maka kesan yang akan ditimbulkan bisa sama atupun akan berbeda.
Dalam ritual kaghombo terutama pada pertunjukan
permainan rakyat, pada tari linda dan tahap akhir yaitu kaghorono bhansa dapat
dilihat reaksi yang beragam. Penonton dalam ritual ini tidak dibatasi pada
pembagian golongan dan usia namun dapat disaksikan seluruh masyarakat.
Masyarakat pada umumnya berdatangan ketika mendengar aluna ganda
yang dimainkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan sehingga dapat
menarik perhatian masyarakat lainnya. Ritual ini juga dapat membawa jodoh
bagi kalambe wuna yang dikaghombo. Kertertarikan dapat terjadi
ketika seorang penonton terbuai dengan kelemahlembutan kalambe wuna saat menari
linda dan pada umumnya perempuan yang telah dikaghombo memiliki aura kedewasaan dan kecantikan
alami. Adapun berbagai reaksi yang dikeluarkan oleh penonto sangat beragam. Hal
ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 13: Tari Linda. Tari ini
merupakan tari khas masyarkat Muna yang mempertontonkan kelemah lembutannya.
Audiens memberikan reaksi yang berbeda-beda. (Sumber: Dok. Ismul azam, di desa
Lagadi. Tanggal 08 Agustus 2014)
Reaksi yang diberikan umumnya
berbeda-beda. Tuloli (1991:259), memberikan tiga alasan mengenai timbulnya
reaksi pada sebuah penampilan yaitu (1) isi dan suasana adegan yang menyentuh
perasaan pendengar; (2) pemakainan kata-kata atau ungkapan tertentu; (3) gaya
tambahan sebagai hiasan pada setiap adegan, baik yang berhubungan dengan alat
musik, suara, maupun gerak-gerik penutur. Sebuah pertunjukan tentu saja
menimbulkan reaksi dari berbagai individu maupun kelompok masyarakat yang
menyaksikannya. Reaksi yang didapatkan tentu saja akan berbeda antara
individual dan kelompok.
Pelaksanaan ritual kaghombo pada
masyarakat Muna juga menimbulkan reaksi bagi masyarakat pendukungnya maupun
masyarakat di luar pendukungnya. Dari awal tahap pelaksanaan ritual ini
ditandai dengan pemukulan ganda, yang kemudian terus mengiringi pelaksanaannya.
Pemukulan ganda yang selalu menyertai setiap tahapan dalam ritual
ini memiliki tujuan tersendiri yakni sebagai pemberitahuan pada masyarakat
pendukung ritual atau masyarakat umum lainnya. Kesan yang ditimbulkan akan
beragam dan dapat terjadi pada siapapun.
Misalnya, anak-anak dengan polos akan
tersenyum dan bahkan tertawa sedangkan orang dewasa dengan hikmat menyaksikan
tari linda yang diiringi dengan alunan
ganda yang musiknya berirama cepat sedangkan penarinya akan bergerak lemah gemulai.
Reaksi lain yang biasa juga terjadi saat tari
linda yaitu pihak keluarga atau
penonton lainnya akan bersorak ramai ketika seorang pemuda dengan sigap
memberikan sebuah cincin pada kalambe wuna yang sedang menari. Peristiwa ini
biasa dianggap sebagai bukti kesungguhan dari pemuda tersebut untuk secepatnya melamar
sang gadis. Akan tetapi, sebagian dari penonton yang umumnya berasal dari suku
lain justru tidak bereaksi. Hal ini bisa terjadi pada sebuah pertunjukan,
karena penonton tidak mengerti bahasa daerah yang digunakan dan tidak
mengetahui makna dari gerakan-gerakan atau bunyi-bunyian yang dipertontonkan.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
uraian yang telah di bahas pada bab sebelumnya,
maka kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis dari hasil penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Ritual kaghombo
merupakan salah satu ritual masyarakat Muna yang dilaksanakan sebagai
puncak kangkilo (sunatan) dari anak
perempuan, dan memiliki nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Muna khususnya Desa Lagadi. Nilai-nilai dalam ritual ini
sangat penting bagi kehidupan masyarakat muna karena memuat aspek sosial,
religius, filosofis dan kesejarahan.
Ritual kaghombo dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh perubahan masyarakat pendukungnya. Perubahan
ini dipengaruhi oleh berbagai aspek yakni internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi kepercayaan, agama, dan perkembangan pendidikan. Sedangkan
faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat pendukungnya misalnya aspek
ekonomi.
Pemikiran masyarakat
Desa Lagadi khususnya kalambe wuna
(gadis yang di pingit) mulai terpengaruh dengan hal-hal baru yang di dapat dari
pendidkan modern. Pemikiran ini menganggap ritual ini pada beberapa bagian
tahapannya bertentangan dengan pemikiran modern. Misalnya, bahwa ritual ini
dilakukan sebagai proses pematangan dan pensucian diri dalam menghadapi
kehidupan sehari-hari dan kehidupan rumah tangga. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan pemikiran yang berpendidikan tinggi mengatakan kesiapan dalam
berumah tangga ketika seorang perempuan mampu berpikir dengan baik dan memiliki
pekerjaan dan pendidikan yang tinggi.
Namun, pada
kenyataannya perubahan masyarakat dan bentuk ritual kaghombo tidak serta merta menghilangkan ritual itu
sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan tetap dilaksanakannya ritual kaghombo
sampai saat ini. Seiring dengan perkembangan zaman sebagian tahapan dalam
pelaksanaan ritual kaghombo tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
adat yang sebenarnya. Proses tahapan pelaksanaan ritual kaghombo
saat ini mengalami pergeseran nilai yakni pada ritual kaghombo yang
memuat nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan, karena ritual ini memiliki
keunikan tersendiri. Ritual ini dalam pelaksanaanya juga melaksanakn seni ritual
lainnya, seperti, permainan rakyat: ewa wuna, seni musik dan tarian.
5.2
Saran
Berdasarkan simpulan
yang telah dikemukakan, maka beberapa saran dan masukkan dapat disampaikan
kepada masyarakat Desa Lagadi agar memikirkan langkah yang harus dilakukan agar
keberlanjutan dan kebertahanan nilai-nilai dalam ritual ini tetap
dipertahankan. Pertama, diperlukan pemahaman dan penanaman nilai-nilai budaya
dalam ritual kaghombo dari generasi tua ke generasi muda. Sehingga masyarakat
dapat membuka pemikiran-pemikiran positif mengenai ritual tersebut. Kedua, dalam rangka pewarisan ketentuan adat
pelaksanaan dan nilai-nilai di dalamnya diperlukan adanya lembaga adat atau
forum masyarakat lainnya yang berkaitan dengan aturan-aturan dalam ritual ini.
Hal ini perlu dilakukan
untuk mengadaptasi perubahan dan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, hukum, dan
politik serta proses demokratisasi dan hak-hak masyarakat. Ketiga,
pemerintah provinsi dan daerah, jika dimungkinkan dapat melahirkan
peraturan daerah yang dapat mengukuhkan keberadaan suatu tradisi sehingga jati
diri dan indentitas masyarakat Muna dapat terlihat. Perlakuan ini agar
masyarakat tidak melupakan akar budayanya. Terlebih lagi pemerintah diharapkan
perhatiannya pada tingkat satuan pendidikan agar memasukan tradisi yang ada di
kabupaten Muna dalam kurikulum muatan lokal agar generasi muda lebih
termotivasi untuk mempelajari seni tradisi pada umumnya dan khususnya ritual
kaghombo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar